BAB 10

449 57 0
                                    


Jasper, Tiana dan bibi Aminah duduk bersama di meja makan sederhana, kursi dari kamar Tiana dikeluarkan agar semua bisa duduk mengelilingi meja tua itu. Malam ini bagai hajatan, makanan di atas meja lebih berwarna. Ada sayuran yang belum habis-habis dari kemarin-gambas, sepiring ikan goreng, kemudian daging rendang 2 piring-ada yang pedas dan tidak.

Tiana sibuk menyendokkan nasi dan lauk ke piring Jasper, porsi nasinya sudah seperti kuli pasar. Padahal sejak pertama disini, pria itu tak pernah makan banyak, hanya secukupnya menambal perut kosong.

"Tuan Jasper tidak mau mencoba ikannya?"

"Bo-"

"Tidak usah meneer, ikan itu sudah tidak segar, berhari-hari di kapal, belum lagi perjalanan dari pelabuhan kemari yang lama. Meneer pasti sakit perut." sambar Tiana, saat melihat Jasper sudah mengangkat tangannya.

Jasper melirik tidak enak kepada bibi yang sudah memasak ikan goreng. Sebenarnya dia juga tidak berminat memakan ikan dengan mata melotot dan mulut terbuka itu, bukan karena dia percaya guna-guna seperti yang diyakini Tiana. Tapi di rumahnya ikan selalu dimasak tanpa kepala, kepala-kepala ikan akan dimakan oleh para pembantu. Dia hanya tak terbiasa, bukan karena jijik.

"Bibi, kuda di depan milik siapa?" Jasper bertanya berusaha mengalihkan pembicaraan, sambil mencicipi daging di piringnya. Enak, pikirnya. Kembali satu demi satu suapan masuk ke mulutnya.

"Oh, ya. Kuda itu dipinjamkan penduduk desa, tuan bisa gunakan untuk seminggu. Nanti akan ada orang yang mengambilnya kembali disini."

"Meneer, akan kembali ke markas tentara?"

"Ya, saya harus melaporkan status kepada komandan. Saya juga takut papa dan mama mendengar kabar tentang saya yang menghilang."

"Kapan meneer akan berangkat?"

"Secepatnya, mungkin besok pagi."

"Apa markas meneer jauh dari sini?"

"Tidak begitu jauh, tapi jika naik kuda akan lebih cepat. Bibi, ada yang ingin saya sampaikan sebelum saya lupa."

"Ada apa, tuan."

"Saya berniat membelikan satu hektar tanah di samping ini untuk bibi dan Tiana. Kalian bisa menanam tanaman lain atau beternak, tentu semua tergantung bibi."

"Tidak usah, tuan. Kami ikhlas membantu, pertemuan kita memang sudah ditakdirkan. Tidak perlu tuan merasa terbebani dengan hutang budi."

"Tidak, tidak, bibi salah paham. Saya akan membeli tanah, di mata hukum tanah itu tetap milik saya, atas nama saya, bibi dan Tiana hanya mengelolanya saja. Menanam tebu atau kopi, bagaimana?"

"Itu sama saja, tuan. Tuan ingin memberikan kami hadiah tanah, bukan?"

"Benar, tapi dengarkan saya dulu, bi. Dengan menanam tebu, bibi bisa membuat gula yang harganya bagus di pasaran. Dengan gulden-gulden itu bibi bisa membayar orang untuk bekerja, terutama laki-laki, cari yang jago bela diri. Mereka bisa bekerja di kebun tebu sekaligus menjadi pengawal untuk Tiana. Bibi lihatlah anak gadis ini, belum menikah, dan hanya ada kalian berdua di rumah ini, jauh dari penduduk lainnya. Bila bibi punya penjaga 2 atau 3 orang laki-laki jago bela diri, tentu merasa lebih aman, bukan?"

Bibi Aminah memandang Tiana dengan tatapan syahdu, perkataan Jasper begitu mengena di hatinya. Jasper benar. Tiana adalah satu-satunya yang mengganggu pikiran bibi Aminah, dia selalu memikirkan nasib keponakannya ini. Bagaimana jika Tiana belum juga menikah sementara Aminah keburu dicabut nyawanya? Apakah gadis ini akan menghabiskan seluruh hidupnya sebagai pemetik teh? Bagaimana dia menghadapi kejamnya kehidupan nanti? Dan banyak pertanyaan yang selalu hinggap di benaknya setiap malam.

Jasper & TianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang