Jasper sangat menikmati opera yang baru saja ditontonnya. Perasaannya puas, tak sia-sia semua uang yang dikeluarkannya untuk pertunjukkan malam ini. Berbeda jauh dengan Tiana disampingnya, gadis itu kebanyakan menguap sepanjang pentas. Jasper juga mendapatinya sempat tertidur di tengah berjalannya opera. Para musisi itu akan menangis terhina jika mengetahuinya. Jasper sudah pasrah, lain kali dia akan membawa Tiana menonton debus dan reog saja. Barangkali gadis itu akan lebih bersemangat, atau membawanya mencari leak.
Sekarang mereka berada di dalam kereta kuda untuk mengantar Tiana pulang. Jika saja hari tidak terlalu malam, ingin rasanya Jasper mengajak Tiana berjalan mengelilingi kota, menikmati nuansa malam Buitenzorg. Sayangnya mereka kehabisan waktu, Tiana mesti bekerja esok, dan ia harus bangun pagi untuk mengejar kereta ke Semarang.
"Bagaimana, Operanya menarik bukan?"
"Meneer ingin saya berkata jujur atau ingin jawaban yang menyenangkan hati?"
Wajah Jasper cemberut mendengarnya.
"Kamu tidak menyukainya, Tiana?"
"Hm, musik klasik bukanlah kegemaran saya, tapi tadi itu pengalaman luar biasa, baru pertama kali saya melihat pertunjukan semegah itu. Saya seperti melihat sinden, tapi dari alam lain, lebih modern."
Jasper menepuk jidatnya mendengar Tiana menyandingkan Opera Eropa dengan sinden Jawa. Walaupun ada kemiripan pola, bagi Jasper kesenian sinden yang belum tersentuh kemajuan zaman tidak bisa disetarakan dengan musik Opera. Opera yang Jasper tonton selalu membawakan karya para komposer kelas dunia yang menjadi sejarah peradaban. Hah, ada-ada saja tingkah Tiana, tetapi Jasper tak akan mengatakan langsung, bisa tumbuh tanduknya.
"Lalu penyanyi pria berambut putih tadi tampan sekali." Tiana berkata dengan mata yang berbinar, tangannya mengepal di depan dada, raut wajahnya kentara sekali sedang memuja.
Jasper mendelik melihat ekspresi Tiana, dipandanginya gadis itu seakan melihat makhluk asing.
"Orang-orang datang untuk menyaksikan keindahan pertunjukan musiknya, kenapa kamu malah memperhatikan pria memakai rambut palsu, Tiana? Dan pandanganmu tertuju untuk laki-laki seperti itu? Mengapa standarmu rendah sekali?" Serbu Jasper mencela.
"Ouch... kenapa kamu memukulku?" Jasper mengusap tangannya yang baru saja digebuk Tiana, lumayan keras.
"Meneer, tidak boleh menghina selera orang tahu. Lagipula penampilan dia bagus, suaranya indah, wajahnya hanya nilai tambah. Opera itu bagus, tapi saya merasa bosan. Jadi saya harus cari sesuatu untuk membuat tetap terjaga sepanjang acara."
"Terjaga apanya? Bukannya kamu tidur tadi?"
Tiana menutup mulutnya, terkejut. "Meneer tahu? Padahal saya sudah berusaha tidak terlihat tadi."
"Topimu yang besar itu tak bisa membohongiku."ujar Jasper menyentil topi renda Tiana, membuat Tiana mendongak menatapnya.
Tiana kemudian membuka topi, sanggul rambutnya terlepas, hingga rambutnya yang panjang terurai bebas. Sekali lagi Jasper terpana dengan kecantikan Tiana. Tatapannya berubah menjadi lembut.
"Tiana, berbaliklah sebentar."
"Ada apa, Meneer?"
"Biarkan saya mengikat rambutmu."
"Oh."
Tiana segera membalikkan tubuhnya, dirasakan tangan Jasper memegang rambut panjangnya, mengelung erat, kemudian menjepitnya dengan tusuk konde yang tadi sempat terjatuh. Perlakuan sederhana dan sebentar, tetapi sekujur badannya seakan meriang, berbeda sekali sensasinya jika bibi Aminah yang mengikatkan rambutnya.
"Sudah, Tiana. Kamu bisa berbalik kembali."
"Terima kasih, meneer." Tiana membalikkan tubuhnya. Kepalanya tertunduk, matanya hanya berani memandang lantai kereta, sementara tangannya memegang erat topi berbahan lembut yang sejak tadi dipangkunya. Tak berani sedikitpun dia melihat Jasper, semua ketangguhan yang tadi diperlihatkan saat mendebat Jasper sirna tak berbekas.
"Tiana." Jasper berbisik pelan.
Tiana hanya melirik pelan ke arah pemanggilnya, tidak berniat menjawab. Ada rasa malu yang begitu besar tiba-tiba muncul saat Jasper balas memandangnya.
"Saya besok akan kembali ke Semarang bersama papa dan mama."
Tiana menatap Jasper tidak percaya.
"Meneer akan pulang?"
"Ya, papa dan mama sudah memesan tiket kereta ke Semarang. Sebagai anak laki-laki satu-satunya saya harus pulang, membantu papa mengurus pabrik dan perkebunan. Namun, jika saya ingin kembali ke Buitenzorg, apa kamu mau menunggu saya, Tiana?"
"Mengapa meneer meminta saya menunggu? untuk apa?"
"Mungkin ini semua terlalu cepat, tapi saya menyukaimu. Saya serius ingin menjalin hubungan denganmu, Tiana. Tidak pernah saya merasakan perasaan seperti ini kepada wanita manapun"
"Maaf Jasper, tapi saya tidak mau menjadi seorang nyai, menjadi seorang wanita simpanan." Untuk pertama kali Tiana memanggil nama Jasper tanpa dipinta.
"Saya juga tidak mau menjadikan kamu seorang nyai atau gundik, Tiana. Saya menginginkan seorang kekasih, calon istri atau calon ibu yang sah bagi anak-anak saya nantinya."
"Apa kamu yakin memilih saya, Jasper? Gadis desa yang tidak berpendidikan, pribumi tanpa darah bangsawan sebagai seorang istri. Apa kamu tidak malu dengan gunjingan teman-temanmu, belum lagi apa kata orang tuamu, mereka pasti malu jika punya menantu seorang pribumi."
"Kenapa kamu harus repot memikirkan perkataan orang lain, Tiana? Mereka tidaklah penting untuk kamu jadikan alasan. Untuk papa dan mama, jika saya bisa meyakinkan mereka untuk memberi kita restu, apa kamu bersedia menikah denganku?"
"Jasper, bukankah ini terlalu mendadak?"
"Tidak, bagi saya ini bergerak cepat dan tepat. Saya tidak suka membuang kesempatan. bukankah pernah saya katakan padamu, kami bangsa Netherlands sangat ahli melihat peluang dan segala kemungkinan. Kami tahu kapan harus bergerak dan mengambil kesempatan. Apa kamu juga mau mengambil kesempatan ini dan membangun harapan bersama saya, Tiana?"
Lama Tiana terpekur mencermati ucapan Jasper. Tidak ada yang bersuara antara mereka berdua. Hanya suara derap kuda dan sesekali suara supirnya yang memacu kuda bergerak lebih cepat yang terdengar.
"Jam berapa keretamu berangkat?"
"Jam sembilan pagi besok."
"Berikan saya waktu untuk memikirkannya, Jasper. Semua itu begitu cepat, saya perlu berpikir jernih. Besok saya akan menemuimu di stasiun kereta."
Jasper menghela nafasnya mendengar jawaban Tiana, tetapi dia harus bersabar. Jasper tahu Tiana gundah, dan dia tidak ingin makin membebaninya.
"Kamu tahu Tiana, dulu saat di Buitenzorg, pekerjaan saya setiap malam hanya berpesta dan berkumpul dengan para anak muda Netherlands. Kami berpesta dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Para orang tua membebaskan kami untuk melakukannya, mereka menganggap itu satu hal yang baik untuk bergaul dan membuat relasi dari keluarga kaya. Sampai satu hari satu kelalaian membuat papa menghukum saya ke Buitenzorg."
Tiana menatap Jasper yang kini memandang ke luar jendela, senyum kecil tersemat di bibirnya. Ingatan Jasper melayang ke masa-masa awal dia ke Buitenzorg.
"Saya menjadi seorang tentara KNIL, menjalani latihan dan kehidupan keras ala militer. Berbanding terbalik dengan hidup saya di Semarang. Di sana saya dilayani, seorang anak tuan besar, tidak ada yang berani membantah perintah saya. Disini, salah sedikit saja, saya bisa digampar atau lari keliling lapangan. Tapi, nyatanya saya bisa melalui itu semua, saat saya jalani itu tidaklah seburuk apa yang saya pikirkan diawal. Saya sadar itulah kunci kehidupan, jalani saja, kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi, asal mau melangkah, semua akan terlewati."
Kereta kuda mereka berhenti, rumah Tiana tampak masih disinari lampu, tanda bahwa penghuninya masih terjaga. Supir kereta turun dan membukakan pintu untuk Tiana. Tiana bersiap turun saat Jasper memanggilnya,
"Sampai jumpa besok, Tiana. Salam untuk bibi dan tidurlah yang nyenyak malam ini."
Tiana hanya mengangguk sebagai jawaban. Kereta kuda kembali melaju membelah malam, menyisakan Tiana yang hanya berdiri diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jasper & Tiana
Historical FictionKisah cinta antara seorang Belanda totok dengan wanita pribumi. Menjadi tentara di KNIL adalah hal yang tak pernah terlintas dalam benak Jasper van Dijk, gaji yang ditawarkan pemerintah memang mengiurkan, tapi sebagai anak tuan tanah kaya raya, gul...