BAB 25

350 48 0
                                    


Keluar dari pabrik, Jasper disuguhkan pemandangan perbukitan teh yang terhampar luas. Centeng-centeng papa banyak dipekerjakan di area ini, menjaga kebun dan gudang penyimpanan sekaligus mengamankan dari serangan hewan perusak dan bandit-bandit inlanders. Termasuk dari tangan jahil para pekerja yang serakah. Padahal mereka sudah digaji layak, lebih dari cukup jika hanya untuk makan.

Semarang baru saja diguyur hujan, sehingga panas tidak begitu terasa hari ini. Jasper merindukan sejuknya Buitenzorg, udara basah sehabis hujan tidak ditemukan sebanyak kala dia masih berada di kota itu. Buitenzorg senantiasa disiram hujan, daun-daun teh disana acap kali masih menampung tetesan air hujan. Hal yang sering dikeluhkan Tiana, gadis itu selalu memberengut jika bercerita tentang dinginnya pagi selalu ditemani daun yang basah, tangannya kadang terasa membeku saat memetik pucuk teh. Ah, mengingat Tiana, Jasper melirik gelang bambu di tangannya, bersanding dengan jam tangan pemberian mama. Bahkan saat Tiana tidak disini, gadis itu berhasil membuat Jasper terjerat padanya.

Hampir setengah bulan Jasper kembali ke Semarang. Jamuan-jamuan makan yang kembali dihadirinya, menghiasi malamnya di Semarang. Para "teman"-nya dulu banyak yang mendekatinya, gadis-gadis cantik yang sekarang menjelma menjadi wanita anggun nan elegan, tetapi Jasper sedang terkena penyakit cinta, tak ada wanita lain yang menarik minatnya sekarang. Jasper sudah jatuh terlalu dalam, sangat terlambat jika ingin keluar sekarang. Nama Tiana sudah tertulis dengan tebal dan besar di hatinya. Jasper menduga Tiana menaruh pelet pada makanan yang selalu disajikannya, mungkin onde-onde atau singkong itu? Atau dia memberi jampi saat menyembur lukanya dulu. Yang jelas Jasper menyukai perasaan ini. Merasa hidup ini lebih berharga, lebih berwarna.

Sedikit saja keluar dari area pabrik, banyak kedai penduduk berdiri di pinggir jalan. Bising suara pengunjungnya sampai ke luar. Di Semarang, banyak orang tionghoa, mungkin lebih banyak jumlahnya dari tionghoa di Buitenzorg. Kota pelabuhan, semua orang bebas datang dan pergi. Pedagang tionghoa banyak yang lebih sukses dari orang pribumi itu sendiri, sehingga mereka menjadi warga kelas dua seperti orang Arab, tapi masih dibawah para orang Eropa. Miris sekali.

Jasper sampai di rumahnya yang letaknya tak begitu jauh dari pabrik. Dilihatnya mama yang sedang berkacak pinggang di pintu dapur. Bibir mama mengeluarkan omelan panjang dalam bahasa Belanda.

"Dasar laksmi, disuruh ke pasar tidak pulang-pulang. Seperti pulang kampung saja. Pasti pacaran dulu, cari pacar kok orang kuli, mana sayuran belum dimasak semua. Ah, Laksmi babu."

"Ada apa, ma? Jangan marah-marah begitu, nanti wajah mama cepat keriput?" canda Jasper sambil mencium pipi mama.

"Oh, kamu sudah pulang, Jasper. Itu si Laksmi mama suruh ke pasar tidak pulang-pulang, lagaknya seperti pasar itu di kedu saja. Lihat dari pagi belum juga sampai ke rumah. Kerjanya sekarang pacaran terus."

"Oh, mbok Laksmi sudah punya pacar?"

"Pacarnya berubah terus, kemarin sama jongosnya tuan Hendrick, lalu supir tuan William, sekarang sama kuli angkut di pasar."

"Hahaha...,sejak kapan mbok Laksmi jadi primadona para inlanders, ma?"

"Entahlah, mama baru menyadarinya sekarang. Kalau laksmi sudah mengurung diri di kamarnya, keluar-keluar matanya sembab. Itu pertanda dia sudah putus, tapi nanti seminggu kemudian mukanya cerah bersinar lagi. Nah, itu berarti dia sudah dapat yang baru."

"Mama hafal sekali."

"Kalau dia sedang patah hati masakannya tidak enak. Kurang garam lah, terlalu manis lah, kadang malah hangus."

"Hah! Bisa begitu?"

"Kamu beruntung berada di Buitenzorg saat itu. Sudahlah, jangan bicarakan Laksmi terus. Ayo, makan. Mama sudah masak udang goreng kesukaanmu." ujar mama seraya menarik tangan Jasper dan menuntunnya duduk di kursi.

Jasper & TianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang