BAB 9

434 61 0
                                    


Pagi-pagi bibi Aminah sudah kembali ke rumah, dengan wajah letih dan mata merah khas orang kurang tidur, tapi aura bahagia masih melekat di senyumnya. Bibi Aminah langsung menuju ke dapur, makan beberapa suap nasi kemudian mandi dan segera tidur. Sementara Tiana sudah pergi bekerja. Jasper masih bergelung nyaman dalam selimutnya, udara sejuk buitenzorg (bogor) memang membuatnya malas bangun pagi, sudah begitu semenjak pertama kali menginjakkan kakinya di tanah ini.

Menjelang siang Tiana sudah pulang, tetapi bibi belum juga bangun. Jasper sedang duduk di bawah pohon, di tangannya terdapat sebuah mangga masak yang tinggal separuh. Tiana mendekat menghampirinya.

"Meneer, sudah makan?"

"Ini saja." Jasper menjawab dengan mengangkat mangga di tangannya.

"Meneer tahu tidak, tadi para tentara Belanda datang lagi, kali ini lebih banyak pasukannya dan lebih lama, mereka menelusuri semua celah-celah bukit. Apa mereka semua masih mencari meneer, ya?"

"Ah, mungkin mereka sedang ada misi khusus mencari pimpinan pemberontak. Kenapa pasukan militer harus membuang-buang waktu mencari orang hilang selama ini?"

"Meneer pasti orang penting, tapi pangkat di seragam meneer sama saja seperti tentara yang lain."

"Sudah kubilang bukan, mereka tidak sedang mencariku. Makanan sudah habis, kamu mau masak apa siang ini?"

"Pak Lurah baru saja menyembelih sapi untuk syukuran, ini para pemetik teh dapat bagian sedikit-sedikit, saya mau membuat rendang."

Perut Jasper seketika mulas mendengar kata rendang.

"Jangan pedas-pedas, saya tidak bisa makan pedas."

"Tenang saja, saya akan memisahkan yang pedas dan tidak. Bibi tidak akan bisa makan jika rendangnya tidak pedas."

Belum selesai mereka berbincang, suara derap kuda terdengar. Jasper dengan cepat masuk ke dalam rumah dari pintu belakang. Tiana berjalan pelan ke depan rumahnya, di sana seorang pemuda turun dari kuda, kemudian mengikat kekang kudanya ke pohon. Dia membawa bakul dan menghampiri Tiana dengan senyum manis, teramat manis malah.

"Assalamu'alaikum, neng."

"Wa'alaikumsalam."

"Sendirian saja di rumah, neng?"

"Ada bibi di dalam. Ada perlu apa kang?"

"Akang dengar bibi perlu seekor kuda, jadi akang bawakan kuda sewaan. Boleh dipakai sepuasnya selama seminggu, nanti minggu depan tak perlu repot mengembalikan, akan ada orang yang datang mengambil." Pemuda itu berucap panjang lebar dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya, tapi Tiana merasa seperti mendengar tukang obat di pinggir pasar, membosankan.

"Sebentar kang, Tiana panggilkan bibi dulu." tanpa menunggu jawaban, Tiana segera memasuki rumah. Untungnya di dalam kamar bibi sudah bangun, duduk di pinggir ranjang, menyisir rambutnya yang masih hitam legam.

"Bi, di depan ada kang Galuh."

"Galuh? Oh, ya sudah kamu temui saja neng. Dia kan pasti mencarimu."

"Dia bawa kuda buat bibi."

"Oh, ya. Bibi ke depan."

Bibi Aminah segera berlalu pergi, Tiana gantian duduk di ranjang. Tiana malas meladeninya, pemuda itu bernama Galuh, masih warga desa sini. Namun, sekarang jarang ada di desa karena bekerja ikut kapal dagang milik orang tionghoa. Beberapa bulan sekali baru datang, kadang membawa ikan hasil tangkapan laut, kadang oleh-oleh dari negeri seberang.

Semua orang tahu jika Galuh menaruh hati pada Tiana, pemuda itu bahkan tidak segan-segan berkunjung ke kebun teh di saat Tiana bekerja, kemudian Tiana akan jadi bahan olok-olokan para ibu-ibu pemetik teh yang lain. Belum lagi jika Ceu Imas tahu kang Galuh mengunjunginya, maka dia akan cemburu lalu mencari gara-gara dengan Tiana. Jadi kedatangan pemuda ini tak lain hanya membuat Tiana sakit kepala.

Sebenarnya Galuh tidak jelek, tampan malahan. Pemuda itu disukai bahkan digilai banyak gadis-gadis. Tetapi dia hanya tertarik pada Tiana. Tiana dulu menganggapnya sebagai kakak yang baik, karena pemuda itu sering main ke rumah bibi dan membawa banyak makanan.

Tiana punya satu kebiasaan untuk menyalurkan hobinya, membaca koran bekas. Pak mandor akan ke pabrik seminggu sekali, semua koran-koran bekas akan diambil dari kantor tuan administratur pabrik. Koran tersebut kemudian diberikan kepada Tiana, dan Tiana akan menghabiskan banyak waktu luangnya di rumah dengan membaca koran. Lagaknya seperti noni Belanda, dengan sepiring singkong rebus dan segelas teh dia menyeret kursi ke samping bale dan duduk santai dengan koran yang terbentang di tangan. Bibi sering mengejeknya noni hitam.

"Nyonya, ada berita apa di Batavia sana? Apa harga gula naik lagi?"

"Tidak, hanya ada berita pertunjukan opera teater di Batavia nanti, bibi. Dari Eropa sana, mereka datang langsung. Hm, kapan kita bisa menontonnya ya, bi?"

"Tunggu kamu bisa kawin dengan tuan Belanda, yang kaya, jangan yang miskin. Nanti kamu bisa nonton Opera di Eropa langsung."

"Tidak mau, nanti bibi tidak ada temannya jika Tiana ke Eropa." Bibi Aminah hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Tiana.

Saat Tiana tengah membaca koran, Galuh datang dan menyeletuk,"Tiana, kenapa suka sekali membaca koran?"

"Membaca itu gudang ilmu, kang. Dengan membaca Tiana jadi lebih pintar."

"Tapi perempuan lebih baik belajar memasak atau menjahit, lebih berguna."

Sejak saat itu Tiana tidak lagi sedekat dulu dengan Galuh, baginya galuh sama saja dengan laki-laki desa kebanyakan, menganggap perempuan hanya mengurusi dapur, anak dan rumah. Tidak perlu pintar apalagi banyak tahu.

***

Dari pintu kamar, Tiana bisa melihat bibi yang bercakap-cakap dengan Galuh. Tiana menuju dapur, dan memutuskan untuk memasak saja. Baru saja dia menyalakan kayu api, bibi datang membawa bakul berisi ikan.

"Galuh sudah pulang, kudanya dipinjamkan selama seminggu ini. Kenapa tidak diambil saja ikannya tadi neng?"

"Takut dijampi-jampi, bi. Nanti saya jerawatan."

"Hahaha... Ada-ada saja kamu neng, sini bibi masak sedikit, sisanya kalau kamu mau bagikan, ya bagikan saja."

"Iya, berikan saja ke mang Kasman. Ada daging sapi dari pak lurah, bi."

"Itu dikasih garam saja, terus direbus dulu, jadi masih tahan sampe besok. Kita masak ikan ini dulu, nanti keburu busuk, sayang."

"Bibi saja yang makan ikannya, Tiana dan Jasper akan makan daging saja."

"Loh, kenapa tuan Jasper hanya makan daging, dia mungkin suka makan ikan juga."

"Jangan, bi. Nanti dia sakit perut makan ikan laut."

"Kamu tidak tertarik dengan Galuh, neng?" tanya bibi yang sekarang duduk di kursi belakang Tiana, sambil sesekali mengusap pelan rambut kemenakannya itu.

"Bibi tahu sendiri jawabannya." jawab Tiana pelan.

"Bibi sudah banyak menerima lamaran untukmu dan semuanya sudah bibi tolak, neng. Kamu cari laki-laki yang seperti apa?"

"Yang tidak merendahkan perempuan, bi."

"Tidak ada laki-laki pribumi yang begitu neng, bahkan para bangsawan priyayi pun tidak akan kamu temui, kodrat perempuan bagi mereka hanya mengurusi rumah."

"Pasti ada laki-laki yang tidak begitu, bi."

"Mungkin ada, tapi berapa banyak dan dimana? Usiamu sudah cukup untuk menikah, neng. Dan jika perempuan menikah terlalu tua akan jadi bahan gunjingan banyak orang."

Tiana terdiam mendengar perkataan bibi. Tatapannya hanya menyorot pada api-api di kayu bakar. Sementara itu, Jasper melipat kedua tangannya bersandar di bilik belakang dapur, mencuri dengar percakapan dua orang perempuan itu. Kepala menengadah ke atas langit-langit, sementara isi kepala hanya dia yang tahu.  

Jasper & TianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang