Jasper mengendalikan kuda menelusuri jalan setapak hutan yang membawanya ke perkebunan teh, tempat Tiana bekerja. Dari bawah bukit, Jasper bisa melihat ramainya suasana perkebunan. Suara tawa cekikikan sayup-sayup terdengar dari tempatnya berdiri. Mandor-mandor pribumi kelihatan sibuk mondar-mandir, memeriksa bakul-bakul pekerjanya, beralih dari satu gadis pekerja yang masih muda ke pekerja lain. Sepertinya mereka masih baru.
Satu dua orang menyadari kehadirannya, cepat-cepat para wanita inlanders menundukkan kepala mereka, tidak berani bertatap muka, apalagi bertemu pandang. Jasper mulai memacu kudanya menaiki bukit. Lirikan-lirikan mata terasa mengikutinya, tetapi dia tidak ambil peduli. Matanya mengamati awas sekeliling, mencari keberadaaan Tiana atau bibi Aminah. Namun, hasilnya nihil tak juga ditemukan sosok mereka berdua.
"Hei, kamu. Kamu orang mandor disini?" Jasper melihat seorang pria memakai topi caping yang berdiri mengawasi para pekerja. Orang itu sontak berbalik, karena merasa ada yang memanggilnya. Ketika dia melihat seorang Belanda di atas kuda, pria itu segera duduk bersimpuh di atas tanah dengan kepala menunduk.
"Benar, tuan."
"Kamu tahu dimana Tiana atau bibi Aminah sekarang berada?"
"Hari ini Aminah bekerja di pabrik, tuan. Kalau Tiana ada di lahan teh agak ke atas, dekat puncak bukit, tuan bisa melihat di pinggirnya ada jejeran pohon jaranan, dia berada tidak jauh dari sana."
"Baik, ambil ini." Jasper melemparkan dua koin gulden kepada laki-laki itu.
"Terima kasih, tuan. Terima kasih." ucapnya sambil membungkukkan badan berkali-kali. Selepas kepergian Jasper yang menaiki bukit, pria itu segera memungut dua koin gulden.
"Dua gulden, hehehe..., rezeki pagi-pagi."
Jasper mengikuti petunjuk mandor tadi, terus menunggangi kuda memanjat bukit, dari kejauhan Jasper dapat melihat jejeran pohon jaranan atau kayu jawa. Dengan semangat yang menggebu Jasper memacu kudanya agar berlari lebih kencang, semakin naik ke atas bukit. Jasper akhirnya menemukan Tiana, sedang memetik teh bersama dua orang lainnya. Perlahan kudanya di arahkan ke pohon, kemudian diikat kekangnya.
Jasper melanjutkan berjalan kaki menuju Tiana, nampak gadis-gadis di sampingnya yang lebih dulu mengetahui niatnya mendatangi mereka. Dua orang itu tampak berbisik-bisik, tak lama kemudian Tiana memandang ke arahnya. Ah, mata indah itu, paras cantik yang akhirnya dapat dinikmatinya lagi. Senyum terkembang penuh di wajah Jasper saat dia menghampiri Tiana.
"Goedemorgen (selamat pagi)." sapanya.
"...."
"Wilujeng enjing (selamat pagi)." cobanya lagi.
"...." kembali hening yang menyahut, Tiana tetap sibuk memetik teh, padahal Jasper jelas-jelas sudah berdiri di sebelahnya. Kedua gadis pemetik teh di ujung sana, masih menundukkan kepala, tetapi Jasper tahu lirikan ekor mata takut-takut mereka yang memperhatikan dirinya. Sekarang dia seperti meneer tua yang menggoda perawan desa.
"Tiana, hei Tiana!"
"Apa?"
"Mengapa kamu tidak menjawab sapaanku?"
"Sorry, ik heb je niet gehoord (Maaf, saya tidak dengar)."
Jasper berdiri kaku, raut wajahnya mengeras. Tanggapan hambar nan ketus dari Tiana membuat perasaan tak nyaman bercokol di dadanya. Kenapa lagi gadis ini? Tingkahnya seperti tak mengenal Jasper sama sekali. Apa aku melakukan kesalahan? Atau tamu bulanannya sedang datang? Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepala Jasper.
"Kamu kenapa, Tiana? Apa ada yang salah?"
"Tidak, tidak ada yang salah. Mengapa meneer kemari?"
"Saya mau mengembalikan kuda, Saya tahu pagi hari kalian pasti tidak ada di rumah, jadi saya menyusul kesini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jasper & Tiana
Historical FictionKisah cinta antara seorang Belanda totok dengan wanita pribumi. Menjadi tentara di KNIL adalah hal yang tak pernah terlintas dalam benak Jasper van Dijk, gaji yang ditawarkan pemerintah memang mengiurkan, tapi sebagai anak tuan tanah kaya raya, gul...