Singkong rebus, cocolan gula aren, mangga, pepaya, jambu, beragam makanan digelar di atas amben. Bibi Aminah dan Tiana duduk di tepinya,
"Ehm, enak nyai, memang singkong ketemu gula itu nikmat."
Tiana tadi meminta kuli-kuli kebun untuk memetik buah yang matang dan hampir matang. Kini mereka duduk selonjoran dengan tanah sebagai alas, menikmati rujak buah di atas amben.
"Betah tinggal disini, mang?" tanya Tiana.
"Betah tak betah, neng. Disini dingin, enak kerjanya, tapi jauh dari anak istri." ucap seorang kuli yang tengah mencocol manga dengan gula aren.
Engku tidak kelihatan, masih tidur kata para kuli, dan mereka tidak berani membangunkan jawara satu itu. Tiana juga enggan mengusik waktu istirahatnya.
"Hush, bukan eneng, nyai." sikut temannya memberitahu.
"Ah, tidak apa-apa, kang. Panggil eneng saja, atau panggil nama saya, Tiana."
"Tidak berani, nyai. Nanti kalau keceplosan di depan tuan, kami bisa dihukum."
"Apa Jasper segalak itu, kang?"
"Kalau tuan Jasper, saya belum pernah lihat dia marah, nyai. Karena kami jarang ketemu. Tuan Jasper seringnya di pabrik, kami-kami ini kerjanya di kebun."
"Tuan pengawas yang galak, neng. Salah sedikit main bentak, tapi itu masih ringan, kadang dia menendang atau memukul pakai sabuk pinggangnya."
"Sekejam itu?"
"Kompeni, nyai. Sedikit saja yang baik."
"Terus, apa pengawas itu sekarang masih ada?"
"Sekarang tidak ada, nyai. Ada pekerja yang kabur, lalu lapor kepada ki lurah. Ki lurah yang ke Semarang menemui tuan besar. Habis itu, tuan besar datang dan pengawas itu dipecat."
"Assalamu'alaikum, ceu Aminah." sapaan itu membuat semua orang menolehkan kepala, pandangan mereka tertuju pada si pemberi salam. Ki Lurah datang bersama anak buahnya.
"Kami pamit dulu, nyai."
Sadar ada tamu, ketiga kuli kebun segera beranjak kembali ke pondok mereka.
"wa'alaikumsalam, pak lurah. Ada apa? tumben main kemari."
Sementara Tiana mengemasi piring-piring yang masih berhamparan di atas amben.
"Ada perlu sedikit dengan ceu Aminah, boleh saya masuk?"
"Mangga atuh, pak lurah, sebentar."
Bibi Aminah mengebasi amben dengan kain yang tersampir di bahunya, membersihkan sisa makanan.
"Silahkan duduk."
"Bagaimana kabarnya, ceu? Itu Tiana masih tinggal disini? Saya kira sudah pindah, ikut suaminya."
"Tiana sedang main saja, pak. Nanti dia ikut suaminya."
"Begini, ceu. Langsung saja, ya. Apa para pekerja itu akan tinggal lama disini?"
"Sepertinya begitu pak lurah. Mereka 'kan bekerja mengurusi kebun itu."
"Nah, itu masalahnya. Tuan mereka langsung berhubungan dengan tuan controleur, jadi saya tidak tahu apa-apa. Eceu kenal dengan tuan tanah ini?"
"Pernah bertemu ki, tetapi tuan bukan orang sini."
"Kalau begitu saya minta tolong. Nyai tahu kan, jika saya sebagai lurah desa harus memungut pajak untuk disetorkan kepada pemerintah Belanda. Rasanya tidak adil untuk warga lain, jika para pekerja yang juga tinggal disini, tidak membayar pajak. Saya takut nanti mereka protes."
"Bukannya tuan tanah sudah mengurusi pajak mereka dengan tuan controleur, ki?"
"Itu pajak kebun, ceu. Pekerja yang tinggal disini harus membayar pajak per kepala, seperti penduduk desa yang lain."
"Loh, harus bayar? para blandong kemarin tidak ada yang membayar pajak orang, ki. Mereka hanya bayar pajak pekerja saja."
Andai bibi Aminah tahu, Pak Lurah sudah pernah mendekati para mandor blandong yang orang Cina itu, untuk menagih pajak. Betapa senangnya dia, membayangkan pajak dari daging empuk. Orang Cina membayar dua kali lipat dari pribumi. Namun, nyalinya ciut saat mereka menyebutkan nama tuan controleur.
"Iya harus, ceu. Kemarin itu saya kecolongan. Sekarang mumpung masih awal, saya beritahukan dulu. Tolong nanti eceu ajak mereka jika sudah tanggalnya untuk membayar pajak."
"Kenapa tidak beritahu langsung dengan mereka, ki? Kalau mau saya panggilkan."
"Tidak perlu, ceu. Melalui eceu saja. Nanti juga ketemu di balai desa. Sudah, begitu saja ya, eceu. Saya pamit, masih harus menyambangi rumah warga yang lain. Assalamu'alaikum"
"Waalaikumsalam."
Seiring kepergian pak lurah, Tiana keluar dari dalam rumah.
"Kenapa pak Lurah menagih pajak ke bibi?"
"Entahlah. Nanti bibi sampaikan saja pesannya ke akang pekerja."
"Nanti Tiana tanyakan pada Jasper, bi. Setahu Tiana, Jasper sudah mengatur semuanya."
"Sudah hampir malam, neng. Masakan untuk dokter Liesbeth dan dokter Hans sudah siap? Jasper juga ikut kemari kan?"
"Sebentar lagi, matang bi. Jasper mungkin datang selepas maghrib nanti."
"Kalau begitu bibi panggil akang-akang dulu, mau pinjam meja sama kursi dari ceu Imah. Meja kita ndak akan muat. Kamu sapu-sapu dulu, ya neng."
Belum sempat Tiana menjawab, bibi sudah pergi.
***
Senja berlalu dengan cepat, petromax dan suluh malu-malu menyinari malam ditemani cahaya bulan. Dari kejauhan derap kuda penarik kereta terdengar nyaring memecah kesunyian. Bibi Aminah dan Tiana berseri menunggu kedatangan tamunya, terutama pasangan dokter Hans dan Liesbeth.
"Ngiieek.." Kuda-kuda penarik kereta mengikik begitu berhenti tepat di depan bibi Aminah.
Jasper keluar setelah pintu terbuka, sepatu Victorian men yang diimpor dari Paris menapaki tangga, dengan angkuh menjejakan tapak spats mahalnya yang enggan menyentuh debu tanah kampung.
"Bibi, apa kabar?" Jasper merendahkan tubuhnya untuk menyapa sang calon mertua.
"Baik, Jasper. Bibi senang kamu menyempatkan diri untuk mampir kemari Jasper." bibi Aminah dengan kikuk berusaha tersenyum tenang, tetapi sorot matanya tertuju pada 2 orang yang menyusul Jasper turun dari kereta kuda.
Sepasang suami istri yang memancarkan kharisma dan sorot teduh. Ketiga orang Netherlands berpakaian necis kini berdiri tersenyum sumringah di hadapan dua orang pribumi.
"Selamat malam, Aminah. Lama kita tidak berjumpa." Sapa dokter Liesbeth.
"Selamat malam, dokter madam. Sudah puluhan tahun sejak dokter pindah ke Batavia, terakhir kali madam kemari saat Tiana masih kecil dan ibunya masih ada. Sudah lama sekali."
Dokter Liesbeth tersenyum mendengar sapaan lama itu, dokter madam selalu diucapkan ibu dan bibi Tiana ketika memanggilnya dulu.
"Saya ikut prihatin dan berbelasungkawa atas kepergian ibu Tiana. Sayangnya, saya tidak sempat untuk melihatnya untuk terakhir kali."
"Terima kasih dokter madam. Semua sudah takdir dari Gusti nu Agung. Mari masuk dokter madam, tuan dokter Hans, dan kamu juga Jasper. Tiana sudah memasak sajian sederhana untuk malam ini."
"Ayo, neng. Diajak masuk tamunya." seru bibi lagi.
Tiana dengan senang hati menggaet lengan dokter Liesbeth, "Tiana sudah masak urap kesukaan mama Liesbeth dan Karedok untuk papa Hans. Ayo mama, papa..."
"Untukku apa?" potong Jasper.
Tiana menjulurkan lidah untuk menjawab pertanyaan Jasper. Dan itu mengundang gelak tawa dari kedua dokter ini.
Gubuk sederhana khas inlander bibi Aminah mendapat kehormatan malam ini untuk menjamu 3 orang tamu agung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jasper & Tiana
Historical FictionKisah cinta antara seorang Belanda totok dengan wanita pribumi. Menjadi tentara di KNIL adalah hal yang tak pernah terlintas dalam benak Jasper van Dijk, gaji yang ditawarkan pemerintah memang mengiurkan, tapi sebagai anak tuan tanah kaya raya, gul...