Bab 38

349 36 4
                                    

Terhitung satu bulan sudah Tiana berada di Semarang. Kehidupan Tiana sangat sibuk disini, harinya selalu dimulai sebelum fajar menyingsing, ia selalu bersaing dengan ayam, pokoknya sebelum makhluk itu berkokok, Tiana sudah siap memulai hari.

Tiana akan membuat sarapan untuk papa dan mama angkatnya, kemudian menunggu kedua dokter itu bersiap sambil membuka buku-buku pelajaran yang diberikan madam Anneke, guru bahasa Belanda yang merupakan wanita berkebangsaan Jerman.

Tiana punya 3 orang guru, madam Anneke yang mengajarkannya bahasa Belanda, noni Emma guru kelas etikanya, dan madam Elizabeth yang mengajarkan ilmu pengetahuan padanya.

Setelah sarapan bersama, TIana, papa Hans, dan mama Liesbeth akan berangkat ke klinik. Sudah ada tukang bersih-bersih disana, tugas Tiana adalah memastikan setiap peralatan sudah siap dan mengisi rak-rak obat sebelum ada pasien datang.

Beberapa hari ini kerumunan warga di depan klinik sudah menjadi pemandangan umum. Tidak hanya pegawai pabrik, tetapi warga di sekitar pabrik pun akan berbondong-bondong datang, untuk memeriksakan diri pada kedua dokter Belanda ini. Dan Tiana pun nyaris tidak punya waktu istirahat hingga klinik tutup.

Tiana punya waktu 1 jam untuk beristirahat sebelum sore harinya, madam Elizabeth akan datang. Hari Sabtunya diisi dengan kelas etika dari noni Emma dan kelas bahasa Belanda dari madam Anneke.

Jasper tampaknya sangat hati-hati ketika memilih guru untuk Tiana, selain madam Elizabeth yang agak tegas dan kaku, madam Anneke dan noni Emma sangat bersahabat. Terutama Emma, mungkin karena jarak umur mereka yang hanya terpaut 1 tahun, kedua gadis ini cepat sekali akrab. Noni Belanda satu ini tidak segan merangkul tangan Tiana dan mengajaknya berjalan-jalan ke taman kota ketika kelas mereka berakhir.

Namun, di saat kelas dimulai Emma juga tegas. Tiana sudah mulai terbiasa duduk tegak atau penggaris kayu Emma akan mencium punggungnya. Jadi disinilah ia, menghabiskan sabtu untuk mengaduk teh pelan-pelan agar tidak menciprat kemana-mana dan menimbulkan suara gaduh. Lalu cara menggunakan serbet, menyajikan teh, dan segala tata-krama di meja makan.

Saat Emma menerangkan dan memperagakan cara minum teh yang benar, Tiana sontak meringis.

"Aduh, pantas saja nyonya Maria seakan-akan ingin menelanku hidup-hidup dulu. Ternyata aku dulu sangat kampungan bagi nyonya kompeni." keluhnya dalam hati.

"Kamu tau ndak Tiana, saya ini dulu serampangan dan ceroboh. Makanya papa membayar mahal guru untuk saya. Papa kata agar ada pria yang mau melamar, sebab kalau tidak, gayaku yang seperti begundal pasar akan membuat para laki-laki yang baik lari, hahaha..." ucap Emma dengan logat Jawanya yang mendok.

Dahi Tiana kadang berkenyit jika miss Emma mulai kambuh berbicara bahasa pribumi dengan logat jawa dan disisipi sedikit bahasa Belanda.

"Biar kamu cepat bisa bahasa Netherland." dalihnya setiap Tiana mengingatkan.

"Habis ini mari kita ke restoran Eropa, langsung praktekkan ilmu yang barusan kamu dapat."

"Eh, tapi..."

"Ndak usah khawatir, saya toh akan menemanimu disana, lagipula calon suamimu itu sibuk toh? Dia masih di pabrik kan?"

Tiana mengangguk, Jasper memang tengah sibuk belakangan ini. Terhitung pertemuan mereka sangat sedikit. Dari hari pertama mereka tiba di Semarang, lalu pembukaan klinik dan ketika Jasper memperkenalkannya dengan para calon gurunya, selebihnya pria itu sangat sibuk. Musim panen tebu kali ini berbarengan dengan teh, jadi Jasper membantu papa Antonie untuk mengawasi setiap hasil panen yang dibawa ke pabrik. Entah dia akan ke perkebunan di luar karesidenan Semarang atau mengawasi di pabrik.

"Nah, makanya, selagi dia mencari uang, kamu bisa sedikit santai dan menghamburkan uangnya sedikit, toh nanti uangnya juga akan jadi milikmu kan, hehehe..."

Jasper & TianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang