Papa dan mama sudah duduk manis dalam gerbong kereta, sementara Jasper masih berada di luar, menanti kedatangan Tiana sesuai janji gadis itu. Matahari mulai menyengat hangat, detak jarum jam yang terus berputar menunjukkan pukul 8.45. 15 menit lagi kereta mereka akan berangkat, tetapi Tiana belum juga nampak. Mondar-mandir di antara sibuknya orang yang hendak naik ke dalam kereta dan para babu mereka, Jasper mengamati terus keadaan sekelilingnya.
Mustahil Tiana tersesat, karena stasiun kereta ini satu-satunya yang ada di Buitenzorg. Baru di bangun oleh NISM (Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij). Semula hanya melayani rute Buitenzorg-Batavia, Kini juga mulai menambah lajur, merambah ke Karesidenan Semarang hingga Karesidenan Besuki (Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Situbondo).
Lelah ditabrak para penumpang yang hilir-mudik, Jasper bersandar di tiang peron paling luar. Matanya awas terus memandang ke arah pintu masuk, yang sebenarnya hanya berupa gerbang kayu, dijaga oleh 2 orang petugas. Beberapa pedati kuda dan dokar berjejer rapi di sepanjang jalan di dekat gerbang.
"Wushhh!!!"
Suara kencang terdengar saat sebuah kereta memasuki rel di seberang, berasal dari lajur Batavia. Perlahan berhenti, dan satu persatu penumpang turun. Dari luar, segerombolan orang menyerbu masuk, kebanyakan pribumi. Kemudian suara-suara lantang mereka mulai bersaing, terdengar nyaring bersahutan. Setidaknya sekarang mereka bebas memilih pekerjaan, tak ada lagi kerja rodi atau tanam paksa yang telah dihapus seiring dilantiknya gubernur Jenderal yang baru bagi Hindia Belanda.
"1 ketip, meneer, mevrouw! 1 ketip tuan, nyonya! 1 ketip nyai!"
"2 benggol, 2 benggol!"
"4 sen, 4 sen, 4 sen!"
Teriakan para supir dan kuli berebutan menawarkan jasanya. Berlomba-lomba mencari sepeser uang untuk makan. Rata-rata para pria pribumi memakai pangsit yang berteriak keras, satu dua orang tionghoa juga ada. Selama tinggal bersama Tiana dan bibi Aminah, Jasper menyadari bahwa pribumi bisa hidup dengan uang 1 benggol setiap harinya. Mereka bisa melewatkan hari tanpa kelaparan, walaupun menu makanan mereka sangat hemat. Tiana termasuk beruntung, dia bisa menikmati sayur dari kebun sendiri dan gajinya cukup untuk membeli ayam atau ikan. Setidaknya keluarga mereka bisa menikmati daging setiap bulannya, tanpa perlu menunggu lebaran haji.
Jasper mengalihkan pandangannya, sekarang jam besar di stasiun menunjukkan pukul 8.50. Tuan masinis sudah memasuki gerbong, mesin kereta api mulai dihidupkan, uap keluar mengepul dari cerobongnya. Tanda kereta api akan segera berangkat. 10 menit lagi, dan Tiana belum juga muncul. Mama melongok dari sela-sela jendela kereta. Sedari tadi diperhatikan putra tunggalnya yang berdiri saja seperti orang linglung.
"Jasper, Jasper." Panggilnya.
Jasper mendekati jendela mama. Mama duduk berdampingan bersama papa yang sedang mengisi waktu dengan membaca koran. Di hadapan mama masih ada bangku kosong, itu tempat duduk Jasper.
"Jasper, ayo cepat naik. Keretanya sudah mau jalan."
"Sebentar lagi, ma." ucap Jasper seraya matanya terus memandang arah pintu gerbang.
Mama menghembuskan nafasnya keras, ketara sekali rasa kesal di dadanya melihat kelakuan Jasper persis seperti remaja yang dimabuk cinta.
"Sudahlah, Jasper. Gadis itu mungkin tidak datang. Naiklah, nanti kamu bisa ketinggalan kereta."
"Dia pasti datang, ma. Tiana sudah berjanji." jawab Jasper bersikukuh.
"Gadis itu belum juga datang, Jasper. Kereta tidak akan menunggu siapapun. Naiklah."
"Belum, ma. Keretanya belum berangkat, masih ada waktu."
"Pa." Merasa kehabisan akal membujuk anaknya, nyonya Maria meminta bantuan suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jasper & Tiana
Tiểu thuyết Lịch sửKisah cinta antara seorang Belanda totok dengan wanita pribumi. Menjadi tentara di KNIL adalah hal yang tak pernah terlintas dalam benak Jasper van Dijk, gaji yang ditawarkan pemerintah memang mengiurkan, tapi sebagai anak tuan tanah kaya raya, gul...