BAB 15

430 54 0
                                    

Dua insan beda bangsa, beda agama, dan beda jenis kelamin, berjalan beriringan menuruni bukit menuju gubuk penimbangan teh. Tangan Jasper memegang tali kekang kuda, menuntun kuda yang membawa bakul berisi pucuk daun teh, bakul bambu diikat menggunakan selendang di pelana kuda. Melangkah berdampingan di sisinya, Tiana memakai caping bambu, menundukkan pandangan, hanya berani memandang jalanan.

Tiana merasa menjadi pusat perhatian ratusan mata, kepalanya tak berani tegak. Dari ekor mata dilirik pria di sampingnya yang saat ini ternyata juga tengah menatap ia dalam. Tiana tersentak, cepat-cepat matanya kembali melihat jalan. Dia sebenarnya menantikan kedatangan Jasper, dua hari mereka berpisah, sepercik kerinduan mulai terbit di hati Tiana, tetapi saat pria itu datang malah menimbulkan kegaduhan. Tiana menginginkan perjumpaan kembali mereka berdua, terjadi di gubuknya, jauh dari pandangan orang banyak. Andai saja Jasper menunggu di rumah atau di bawah pohon mangga, tempat rahasia yang hanya mereka berdua tahu, maka wajah berseri-seri Tiana akan menyambut kedatangannya.

Tiana sadar, dekat dengan laki-laki Belanda walaupun hanya sebagai kawan akan menjadi bahan gunjingan orang, apalagi jika dianggap sebagai calon nyai (selir, simpanan, gundik laki-laki Belanda). Sesungguhnya Tiana dapat bersikap masa bodoh dengan tanggapan orang lain, tetapi bibinya tidak akan sanggup. Bibi tidak siap dengan berbagai macam pandangan buruk orang-orang pada Tiana kelak.

Predikat sebagai wanita murahan tak bisa dilepas dari seorang nyai Belanda. Namun, bersama itu juga datang segudang keuntungan lainnya, para nyai tidak perlu khawatir kelaparan, pakaian atau harta, semua bisa mereka dapatkan dengan mudah, tanpa perlu bersusah payah berjemur di bawah panasnya terik matahari. Mereka dilayani para babu dari orang-orang bangsa sendiri, mungkin juga para budak dari Bangladesh, atau dari Bali bahkan Celebes (Sulawesi).

"Tiana, hei Tiana," panggilan Jasper menyentak Tiana dari pikiran panjangnya.

"Hmm..." gadis itu mendengus lalu memalingkan wajahnya, ketara sekali dia masih kesal.

"Kamu tidak senang dengan kedatangan saya, Tiana? Apa saya mengganggumu?"

Akhirnya Jasper melontarkan pertanyaan yang sedari tadi hinggap di kepalanya.

"Tidak."

"Lantas kenapa kamu bermuka masam begitu?"

"Hanya perasaan meneer saja. Saya cuma kesal dengan para pekerja baru itu, kebanyakan bicara, kerjanya tidak becus, sudah diajar berkali-kali tapi tidak ada yang nyangkut di kepala mereka...."

Jasper diam mendengarkan keluhan Tiana, dia membiarkan gadis itu mengeluarkan semua unek-unek di hatinya. Matanya akan melotot lebar jika ada mandor atau para pekerja yang melihat ke arah mereka. Inlanders selalu takut dengan pelototan bangsa Netherlands, terutama para pekerja kasar dan rendah seperti orang-orang ini.

"... bukan begitu, meneer?"

Pertanyaan tiba-tiba Tiana membuat Jasper kelimpungan, tetapi dia panjang akal, dengan muka meyakinkan dia menjawab, "Ya, tentu saja."

Dan itu cukup membuat Tiana tersenyum senang, gadis itu tidak lagi berwajah murung di sisa perjalanan. Hingga sampailah mereka di depan alat timbang, sebuah truk terparkir di belakang alat itu, siap membawa hasil petikan langsung ke pabrik. Sekelompok pria pribumi duduk santai di sebelahnya, tampak mereka pegawai pabrik yang bertugas mengangkut hasil timbangan.

Jasper dan Tiana berhenti di depan mereka yang tak menyadari kedatangan tuan kompeni ini. Tiana hendak melepaskan ikatan bakul dan menumpahkan isinya ke wadah timbangan ketika tangan Jasper menghalaunya.

"Jangan, biarkan dia saja yang melakukannya. Itu tugas dia." Sebagai anak pemilik perkebunan besar tentu Jasper paham bagaimana perilaku pekerja pribumi, sebagian pekerja seperti mereka ini, maunya gaji besar, kerja santai, tak peduli temannya sedang bekerja banting tulang. Bila di kebun papa, orang seperti mereka hanya akan dipakai satu bulan sebelum dipecat.

Jasper & TianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang