Hari masih gelap, ayam belum lagi berkokok, tapi Tiana sudah bangun. Bagi orang kampung seperti dia, terlebih lagi gadis perawan yang belum menikah, ini bukanlah hal yang aneh. Malah haram hukumnya jika matahari lebih dulu terbit daripada dia bangun tidur. Diikat rambutnya, dan segera menimba air untuk mencuci beras dan memasak, sambil menunggu nasi itu matang, dia mandi dan mencuci pakaiannya. Disaat gelap ini dia tidak takut ada yang mengintipnya, karena laki-laki kebanyakan belum bangun, rumahnya berada di tepi hutan, tidak ada tetangga dan pria yang ada di rumahnya lebih parah lagi, saat dia berangkat untuk memetik teh pun, laki-laki itu masih tidur.
"Malang sekali yang jadi istrinya." pikirnya. Tiana lalu memisahkan makanan, sebagian di taruhnya di meja untuk tuan kompeni, sebagian dibawa sebagai bekal, yang dimasukkannya ke dalam bakul. Dan mulai menyusuri hutan di belakang rumahnya, jarak kebun teh dan rumahnya tidak begitu jauh. Setelah keluar dari hutan dan memutari bukit, hamparan pohon teh akan terlihat. Biasanya Tiana berdua dengan bibinya berangkat dan pulang kerja bersama. Tapi kali ini dia sendiri, tidak apa, berbekal lampu pelita dia masih bisa melalui hutan sendirian.
Sebenarnya Tiana bisa menunggu para pekerja yang lain, tapi dia harus masuk kedalam desa dan berangkat mengitari kampung, itu berarti dia berjalan lebih jauh, dibandingkan memotong jalan melalui hutan.
Sebuah pondok kecil terlihat, beberapa wanita sudah berkumpul disana, sekadar absen pada mandor, kemudian bergosip ria sebelum waktu bekerja dimulai. Seperti halnya pagi ini, bisik-bisik para ibu terdengar jelas di telinganya.
"Ceu, tau tidak? Pak mandor mau kawin lagi."
"Ah, yang benar ceu? Jadi istri ke-3, atuh? Memangnya mau nikah sama siapa?"
"Sama Tati, itu janda yang baru seminggu kerja, yang dari lebak."
"Oh, yang giginya ada gingsulnya itu, ceu."
"He-eh, terus-terus udah dengar belum berita dari ceu tini?"
"Memangnya ada apa ceu?"
"Katanya anak pak haji hamil loh, ceu."
"Pak haji mana, ceu Imah?"
"Haji Dahlan, yang punya sawah 2 hektar itu."
"Oalah, masa sih ceu, anaknya kan belum nikah, si Halimah bukan?"
"Iya itu ceu, padahal dulu mah, mau dilamar anaknya mang udin, tapi ditolak pak haji. Sayang, sebenarnya anaknya saling suka, kalau tidak, mana berani jaka minta mang udin melamarkan si Halimah ke pak haji."
"Oh, jadi si Halimah hamil sama Jaka, ceu?"
"Bukan, si Jaka mah sekarang di Jawa ceu, jadi santri di karesidenan surakarta. Enak hidupnya sekarang, kata mang Udin baru balik habis dampingi kyainya haji di Mekkah. Jadi haji juga dia sekarang."
"Jadi si Halimah hamil sama siapa, ceu?"
"Ya, tidak tau saya juga, ceu."
"Assalamu'alaikum, ceu."
"Wa'alaikumsalam, eh, Tiana. Baru datang neng?"
"Iya, ceu. Baru juga sampai."
"Sudah makan, neng?"
"Sudah di rumah tadi, ceu."
"Neng, neng. Tau tidak ada kabar baru?"
Dan kedatangan Tiana akan memulai ronde gosip selanjutnya, dengan kabar yang sama tapi bumbu cerita yang berbeda. Tiana tidak perlu banyak berkumpul dengan para tetangganya di desa. Karena di sini di kebun teh dia akan mendapatkan banyak kabar dan gosip dari desa maupun kota. Tiana penasaran, apa kabar mengenai hilangnya meneer Belanda itu sudah tersebar disini atau belum, jadi kali ini dia ikut merumpi bersama ibu-ibu pemetik teh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jasper & Tiana
Fiction HistoriqueKisah cinta antara seorang Belanda totok dengan wanita pribumi. Menjadi tentara di KNIL adalah hal yang tak pernah terlintas dalam benak Jasper van Dijk, gaji yang ditawarkan pemerintah memang mengiurkan, tapi sebagai anak tuan tanah kaya raya, gul...