Hari terlihat petang, sekitar jam 22:00 Atta memasuki rumah Papinya, baru beberapa langkah seseorang sudah menyambut kedatangan Atta dengan sorot mata tajamnya. Urat leher yang terlihat menonjol menandakan bahwa dirinya tengah menahan emosinya sekarang.Atta balas menatap Dave tanpa rasa takut sedikitpun. Setelah satu minggu menghilang akhirnya dia kembali menginjakkan kakinya dirumah ini.
Terlihat Dave yang menghela nafas kasar, laki-laki paruh baya tersebut terlihat mulai kehabisan akal menghadapi salah satu anaknya ini. "Satu minggu ini kamu kemana aja Ta?" tanpa emosi Dave menanyakan hal tersebut. Dave mati-matian tengah menahan diri sekarang, untuk tidak bertingkah arogan seperti biasanya.
"Dirumah Mami" sahutnya singkat.
Mendengar jawaban singkat dari anaknya, Dave mengusap kasar mukanya sendiri. "Apa yang sebenarnya kamu cari dirumah almarhummah Mami kamu?" tanyanya masih mencoba menahan diri untuk bersikap sesantai mungkin.
"Ketenangan"
Spontan Dave menatap Atta sinis. "Ketenangan? Ketenangan dari apa? Apa pernah Papi nuntut ini itu, dan segala macam ke kamu? Papi bukan Mami kamu Ta yang menuntutmu untuk jadi anak yang sempurna. Papi sepenuhnya ngebebasin apapun yang mau kamu lakuin selama itu masih dalam batas wajar."
"Lebih tepatnya ketenangan dari masalah yang nyerang Atta tanpa henti! Cuma dirumah itu Atta ngerasa tenang Pi. Atta masih bisa ngerasain kehadiran Mami disana."
Dave menyerkitkan dahinya heran. Sedikit tidak mengerti dengan apa yang Atta ucapkan. "Masalah? Masalah apa yang kamu maksud? Kalau kamu bisa damai sama diri sendiri sama masa lalu kamu semua nggak seribet yang kamu kira Ta! Sampai bolos sekolah hampir 1 minggu. Mau kamu sebenarnya apa?" akhirnya emosi Dave kembali meluap. Ia mulai kesusahan menahan diri setelah mendengar penjelasan dari putranya.
Atta menatap Papinya dengan tatapan remeh, lantas ia tersenyum hambar. "Jangan pernah menyepelekan air yang tenang Pi, yang tenang belum tentu tidak menghanyutkan."
"Atta bukan Rafa. Anak kesayangan Papi, semua tentang dia mungkin Papi udah hafal diluar kepala, tapi tidak dengan Atta. Banyak dari Atta yang nggak Papi tau. Sampai detik ini Atta masih diberi nyawa aja Atta udah sangat bersyukur." ujarnya sambil tersenyum dan menepuk pundak kiri Dave sebanyak 3 kali. Sebelum dirinya berpamitan menuju kamarnya.
*******
Pagi harinya, setelah melakukan beberapa rutinitas seperti mandi dan segala macamnya. Atta kali ini sudah siap dengan seragam sekolah yang melekat sempurna ditubuhnya. Setelah 1 minggu dirinya mencoba berlari dari kenyataan kini semangatnya mulai kembali hadir. Paling nggak dia ingin jadi manusia yang berguna sebelum benar-benar sepenuhnya meninggalkan dunia fana ini.
Tidak lupa 1 kapsul ARV dia konsumsi, tidak munafik Atta membutuhkan waktu agak lama untuk menebus kesalahannya kepada Shena. Dia tidak mau pergi sebelum misinya selesai.
Atta memasuki ruang makan. Terlihat Rafa yang memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.
"Apa lo lihat-lihat?" tanya Atta songgong. Lengkap dengan tangan yang sengaja dimasukkan kesaku jaketnya.
"Pake jaket mulu nggak gerah apa?" pertanyaan itu meluncur begitu aja dari mulut Rafa.
"Suka-suka guelah. Kerajinan banget ngurusin hidup gue. Orang gue aja nggak pernah ngurusin urusan lo!" setelah mengatakan hal tersebut Atta mulai mendudukan pantatnya disalah satu kursi.
"Mau makan sama apa Ta biar Mama ambilin?" ujar Risa menawarkan. Harus wanita itu akui, dirinya merasa senang akhirnya Atta kembali ada ditengah-tengah mereka. Risa hanya takut terjadi sesuatu hal buruk diluaran sana pada anak tirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atarangi. {Selesai}
Teen Fiction⚠️ Harap follow ⚠️ Masih aman buat dibaca anak dibawah umur. ⚠️Belum revisi. Maaf typo masih bertebaran.. Atta menatap Papinya dengan tatapan remeh, lantas ia tersenyum hambar. "Jangan pernah menyepelekan air yang tenang Pi, yang tenang belum tentu...