"44"

1.7K 93 5
                                    

Dave kembali dengan keadaan mata sembabnya, setelah 30 menit Dave meminta keajaiban kepada sang Khaliq, Dave memutuskan untuk kembali memastikan keadaan Atta.

Hari ini benar-benar hari yang berat untuk Dave dan keluarganya. Semenjak mengetahui fakta tentang Anaknya, Dave jadi sering melamun. Ditambah lagi dirinyalah orang yang patut disalahkan atas ini semua.

Wajar saja jika selama ini Atta begitu membenci dirinya, Risa juga Rafa. Dave sadar Rea pergi meninggalkan rumah dan milih tinggal berdua dengan Atta bukan tanpa alasan. Melaiinkan dirinyalah penyebab dari itu semua.

Waktu itu Rea merasa tidak sanggup melihat sikap suaminya yang memperlakukan, dirinya dan Risa secara tidak adil. Ditambah lagi Dave yang sering melalukan KDRT ke Mami Atta.

Mental Rea memang sedikit terganggu akibat itu semua. Dia didiagnosis intermittent explosive disorder yaitu penyakit mental dimana penderitanya merasa kesusahan dalam mengatur emosi. Amarahnya yang berlebihan terkadang membuat Rea melakukan tindak kekerasan kepada Atta, saat anak itu tidak mengabulkan ekpektasi Rea sebagai juara kelas.

Beruntungnya Rea segera melakukan tindakan Psikoterapi dan mengonsumsi obat antidepresan yang perlahan membuat emosi Rea mulai stabil.

Dave kembali keruang rawat Atta dengan muka linglungnya. Terlalu banyak hal yang memenuhi fikiran laki-laki paruh baya itu.

"Pa Atta gimana? Apa kata Dokter?" tanya Risa penuh kekhawatiran.

Dave hanya menggeleng penuh keputusasaan. "Atta terkena TBC Mah, dan virus HIVnya sudah masuk ketahap AIDS dari satu tahun lalu." jelas Dave dengan tatapan tertuju ke seseorang yang tengah berjuang hidup.

Risa bangkit, dihampiri Dave dan di tuntunnya kesebuah sofa, berharap bisa sedikit menenangkan kekalutan suaminya.

"Papa salah Ma, Papa bener-bener berdosa ke Atta. Atta sudah terlalu banyak menanggung luka karena Papa." lirih Dave, kedua tangan dia mengepal sempurna guna menyalurkan seluruh emosinya.

"Papa.... Papa merasa gagal Ma." gumamnya penuh rasa sesak. Rafa hanya mengamati interaksi yang terjadi antara kedua orang tuanya. Secara tidak langsung dirinya juga berperan, terlebih saat Rafa, mengingat ucapan Atta tadi siang. Yang mengatakan jika bocah itu tertabrak karena, Dave yang meninggalkan Atta sendirian, sewaktu mendengar bahwa dirinya belum pulang kerumah.

Rafa mengalihkan pandangannya. Ikut terfokus mengamati tubuh Adiknya yang memang terlihat semakin kurus. Bodohnya dia tidak menyadari hal itu selama ini. Atau memang dirinya terlalu acuh sebagai seorang Kakak?

"Gue bener-bener nggak tau mau ngomong apa Ta, bahkan kata Maaf kayaknya lo udah bosen denger itu kata keluar dari mulut gue." batin Rafa, mulai menyesali semuanya.

Dia sadar dirinya terlalu menghakimi Adik tirinya. Tanpa pernah mencoba mwncari tau serusak apa tubuh dan mental pemuda itu.

Dave bangkit dari sofa, dia berjalan mendekat dan duduk disebuah kursi, tepat di sebelah ranjang Atta. Diamatinya muka Atta yang berwarna pucat pasi, bibir yang sedikit terdapat bercak putih sariawan. Juga mata Atta yang terpejam sempurna.

"Maafin Papi sayang" gumam Dave lirih, diusapnya pipi Atta yang terasa semakin tirus. "Maaf tadi Papi nampar Pipi kamu."

"Atta bangun ya, Atta harus berjuang sekali lagi. Izinin Papi menebus semua kesalahan Papi Nak. Izinin Papi lakuin tugas Papi sebagai seorang Ayah." gumamnya, sesekali air mata Dave mulai berjatuhan. Dirinya mengingat sesering apa mengabaikan Atta kecil dulu.

Dave tidak pernah mengingat hari ulang tahun Putranya. Sekalinya ingat justru membahayakan nyawa Atta.

Risa yang melihat sekacau apa suaminya ikut menyalahkan dirinya sendiri. Andai dulu dia tidak mengedepankan egonya, mungkin nasib Atta tidak akan seperti ini. Mungkin Atta masih bisa menikmati masa mudanya tanpa harus berulang kali bolak-balik kerumah sakit, seperti sekarang.

Atarangi. {Selesai}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang