"Jujur tentang apa?" Atta heran melihat gadis itu yang terlihat berbeda dengan Gea yang biasa Atta kenal."Ge, lo kenapa?" tanya Atta, seraya mendekat kearah sahabatnya.
"Lo kenapa sih? Jangan bikin gue takut Ge!" sentak Atta meminta penjelasan. Sambil mengguncangkan kedua bahu Gea. Entahlah yang jelas dia merasa ada suatu kebenaran yang Gea sembunyikan.
Gea yang sedari tadi menundukkan kepalanya, perlahan, mulai memberanikan diri untuk menatap wajah Atta. Dengan penuh rasa bersalah yang semakin tidak bisa Gea kendalikan.
"Ta Maaf," gumamnya lirih, bahkan kedua matanya sudah mulai berkaca-kaca.
Mendengar gumaman Gadis didepannya, Atta jelas semakin heran. Dia tidak dapat mencerna maksud ucapan sahabatnya itu. Dengan posisi yang sama-sama duduk di pinggir ranjang, Atta menatap wajah Gea. Masih berusaha meminta penjelasan atas maksud dari ucapan Gea.
"Ada apa, jelasin pelan-pelan ke gue" pinta Atta dengan nada selembut mungkin.
Gea menghela nafas sejenak, dirinya tengah mencoba untuk menyakinkan dirinya. Bahwa keputusan yang Gea ambil adalah langkah yang tepat.
"Gue.... Gue.... Minta maaf atas nama pribadi, sekaligus atas nama Almarhum Bang Sion Ta" lirih Gea, gadia itu kembali menundukkan kepalanya sekarang. Jujur Gea tidak mampu jika harus menghadapi kebencian serta kekecewaan Atta kepadanya.
Dahi Atta mengkerut tiba-tiba, heran dengan kemana arah pebicaraan Gea, dan apa yang membuat Gea sampai seperti ini.
"Maaf buat?"
Suasana hening seketika, hanya terdengar suara hembusan nafas dari keduanya.
Dengan suara bergetar, akhirnya Gea memutuskan untuk menceritakan sebuah fakta yang baru saja dia ketahui 1 bulan lalu.
"Se....sebenarnya ya...ang jadi pendodor waktu lo butuh transfusi darah itu Bang Sion." jujur Gea, yang sontak membuat muka Atta memerah menahan amarah seketika.
"Gu....e, gue bener-bener baru tau waktu nggak sengaja nemuin buku diarynya Bang Sion. Disitu tertulis jelas ada nama lo Ta."
Atta terdiam mematung, otaknya masih mencoba mencerna fakta mengejutkan yang barusaja dia ketahui. Kedua telapak tangan Atta mengepal sempurna. Sorot mata yang memerah menandakan ada sebuah emosi yang sedang mengendalikan dirinya.
Tanpa Atta sadari pemuda itu melayangkan tangannya kemuka Gea, dan beruntungnya Atta masih mampu menahan tangannya agar tidak sampai mendarat sempurna dipipi sahabatnya.
"SSSHHHIIIITTTTT" umpat Atta.
Guna melampiaskan kemarahannya, Atta meraih sebuah lampu duduk yang terletak di atas nakas samping kamarnya. Dilayangkannya benda berukuran lumayan besar tersebut kearah Gea. Dan reflek Gea menghindar dari amukan Atta, gadis itu tengah duduk bersandar di samping lamari sekarang.
"Maaf" cicit Gea, tanpa berani menatap wajah Atta sedikitpun. Jujur selama mereka bersahabat Atta belum pernah lepas kendali seperti ini.
Suasana hening menyeliputi mereka selama hampir sepuluh menit, hingga perlahan Atta mulai menyadari apa yang dia lakukan. Saat melihat kondisi kamarnya lebih berantakan dari biasanya.
Pemuda itu terduduk bersimpuh, mulai merangkak menghampiri Gea, cewek yang hampir saja dia celakain.
Gea bangkit, dan mulai berjalan kearah Atta. Dari sorot matanya kemarahan di diri Atta perlahan sudah menghilang.
Dan disinilah Atta sekarang, tepat berada di depan Gea, dengan posisi Atta yang masih terduduk di lantai dan Gea yang setengah berbungkuk. Atta memeluk kedua kaki Gea seerat yang dia mampu. Dan dibalas rengkuhan hangat balik dari gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atarangi. {Selesai}
Novela Juvenil⚠️ Harap follow ⚠️ Masih aman buat dibaca anak dibawah umur. ⚠️Belum revisi. Maaf typo masih bertebaran.. Atta menatap Papinya dengan tatapan remeh, lantas ia tersenyum hambar. "Jangan pernah menyepelekan air yang tenang Pi, yang tenang belum tentu...