Gandhi Sandhyakala, seorang anak muda dari pesisir kota yang memiliki banyak mimpi tertuang dalam goresan pensil. Tidak ada warna, ia bukan pelukis, gambarnya jarang diwarnai, murni coretan grafit yang tampak keabu-abuan. Ia adalah perupa gambar yang lebih mengutamakan unsur garis daripada warna dan tekstur dalam pembuatan karyanya.
10 tahun yang lalu tangannya yang mungil memegang pensil dan garis-garis tipis tegas memenuhi lautan kertasnya. Saat sore hari, di tepi pantai selalu menghabiskan waktu untuk menggambar. Apa saja, menggambar dirinya sendiri yang sedang bermain pasir, menggambar guru dan teman-teman yang baru ditemui, atau menggambar suasana hatinya saat itu.
Ketika tumbuh dewasa, ia menjadi anak muda 17 tahun yang haus peluang kesuksesan hari depan. Ia tidak lagi menggambar seperti yang dilakukan sewaktu kecil. Ia mulai merancang banyak objek bangunan seolah-olah menggambar adalah makanan yang membuatnya tidak bisa tidur dengan baik sebelum menuntaskan objeknya.
10 tahun memakan waktu yang panjang. Untuknya belajar, menyukai, sampai menjadi kebiasaan yang tidak bisa lepas. Seperti melekat dalam hidup. 10 tahun berjalan adalah sebuah proses. Seperti saat ia menarik garis tipis dalam sketsanya kemudian hingga berani menarik garis tegas. Dari waktu ke waktu gambarannya semakin bernilai walau ia hanya menyimpannya seorang.
"Menggambar itu bebas, kita hanya perlu menggambar apa yang disukai, kita hanya perlu menuangkan imajinasi yang sudah aktif sendiri. Detail tidak bisa dipaksakan, tapi dicari titik keserasiannya."
Udara musim panas berembus pengap. Ia menatap langit tempat awan-awan putih berkeliaran bebas. Sambil mengayuh sepeda, anak muda bertopi rajut dengan surai memenuhi dahi itu melempar senyum yang tumpah-tumpah bertebaran di jalan. Terbiasa hidup di pinggir kota walau tempat tinggalnya masih lingkup kecil, tapi gedung-gedung dibangun begitu megah. Banyak desain bangunan menarik yang membuatnya semakin ingin menjadi salah satu penciptanya.
Dalam otaknya selalu dipenuhi kunang-kunang yang menyumbang cahaya imajinasi. Setiap hari mengganggu dan ia tidak bisa beraktivitas dengan baik setiap cahaya paling terang menerangi pemikirannya.
Mereka bilang, "Pegang pensil dan buka kertasmu, ekspresikan kami, Gandhi."
Menginjak standar sepeda, angin menyapu lembut rambutnya walau sedikit membawa debu. Gandhi terduduk di sudut kota untuk memenuhi teriakan yang terlampau indah dilewatkan begitu saja. Ia keluarkan jurnal sederhana yang mulai menipis karena isinya banyak disobek sia-sia beserta pensil jenis 2B yang memiliki ketebalan rendah. Setiap hari mengekspresikan emosi di atas putih. Ia tampak begitu terampil saat memakai kacamata berlensa tebal dan mulai menarik garis. Dari kejauhan orang-orang terpana padanya, beberapa mengintip objek yang digambar, beberapa bahkan memuji secara terang-terangan, mengatakan bahwa, "Kelak kamu akan menjadi desain bangunan yang hebat."
Kala itu, senyum saja sudah cukup sebagai balasan.
Jika benar maka ia akan sangat senang dan tidak menaruh penyesalan sedikit pun pada masa mudanya.
Sayangnya, ia hanya menyimpan gambar yang disukai. Walau tadinya ada sebuah imajinasi luar biasa yang berhasil ditorehkan, ketika ia mengatakan tidak di akhir, maka kertas itu hanya berakhir tragis.
Mungkin bila dikumpulkan ia bisa tahu perkembangan gambarannya dari tahun ke tahun, mungkin juga ia membuat buku kenangan. Namun semua sudah berhamburan entah ke mana. Padahal saat mengerjakan mampu memakan waktu lama, tidak tidur malam, melewatkan makan, hanya untuk diberikan kepada angin yang membawanya pergi kemudian hilang.
Dalam perjalanan, ia lihat kembali gedung-gedung yang tinggi menjulang dan rumah-rumah nyaris tanpa sela. Mereka tampak begitu sempurna diciptakan, mampu menampung orang-orang dengan ikhlas, memberikan perlindungan siang dan malam agar manusia punya tempat berpulang. Sejenak menerawang jauh, bagaimana dengan dirinya? Apa penciptanya menciptakannya dengan sedemikian rupa dan sempurna?
Jika hidup adalah kertas kosong yang putih sekali, ia ingin menjadi arsitek untuk hidupnya. Merancang sejuta angan yang melambai, bergesekan dengan abu-abu. Kemudian menjatuhkan pilihan pada satu dari sekian sketsa pilihan. Di atas sebidang tanah kehidupan, ia akan membangun rumah yang siap memeluknya. Hati merindukan bangunan kokoh. Ketika tegar menjadi satu-satunya alasan untuk mampu berjalan menembus prahara.
Ia merobek objek hari ini. Di musim panas ia sibuk melipat pesawat kertas sebab tidak mampu membuat ribuan bangau pemenuh harapan untuk diserahkan kepada angin. Pesawat kertas terbang mandiri dan tidak kembali lagi. Pesawat kertas yang malang karena tidak berguna. Tidak seperti bangau yang menyimpan banyak doa baik. Karena ia hanya pesawat kertas yang rapuh.
***
Salam sayang
2 Oktober 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange (END)
Teen FictionDON'T COPY MY STORY! A Sweet Story by Nora Aku tidak ingin mengirimmu pulang sekarang Aku ingin bersamamu lebih banyak Bahkan jika matahari terbenam Kita masih punya malam yang bersinar sambil menunggu matahari terbit keesokan harinya Aku meraguk...