Halo!
Sudah vote belum?
Selamat membaca
Masih ingat bahasa Rhododendron? Ya, cinta kecil yang begitu rentan dan rapuh.
"Kamu mau apa, Binar? Apa yang kamu lakukan?"
Kekecewaan Binar telah membuatnya kehilangan akal jernih. Jika Gandhi bisa begitu mudah dengannya, mengapa ia tidak bisa juga? Berapa harga maklum yang harus dikeluarkannya lagi? Tidak suka dengan caranya memperlakukannya.
Selama ini Binar pikir Gandhi terlalu naif. Binar memberinya kebahagiaan yang melimpah tapi Gandhi selalu menutup mata. Lama menunggu, terus menunggu, pada akhirnya Gandhi tidak bisa memberikan jawabannya. Gandhi yang terlalu banyak janji dan pada akhirnya mengumbar ucapan sendiri. Gandhi yang lebih memilih melarikan diri daripada menghadapi dunianya.
Jadi sikap kekanakan ini bukan cuma dimiliki perempuan lugu yang selalu dibelikan permen loli ketika sedih.
Binar yang sukses mengacau perasaan Gandhi. Raut penyesalan yang hambar, ketegangan yang tidak dipedulikan. Getar suara itu dibiarkan mengabur bersama angin jahat. Masih dengan air mata yang berjatuhan, Binar pergi mengemasi barang-barangnya kemudian memasukkannya ke dalam tas putih. Barangnya saja, ia bahkan tidak melirik barang pemberian Gandhi.
Pemandangan memilukan kala melihat Binar melucuti semua barang yang pernah diberikan kepadanya dan mengganti dengan barangnya sendiri, itu jepit rambut yang dulu dibeli di kedai pinggir jalan saat awal bertemu dan buku catatan detak jantung dengan sampul gadis peri bunga pemberiannya. Tidak tahu akan berakhir seperti ini, sungguh di luar jangkauan pikirannya.
"Binar dengarkan aku!"
Percuma. Saat Gandhi meraih tangannya lagi, Binar langsung menghempaskannya. Terasa seperti tamparan keras yang merontokkan hatinya. Orang ini sungguh tidak punya muka lagi, kotor, dan busuk.
"Kamu mau ke mana?"
Gandhi membuntuti Binar setiap langkahnya. Berlari cepat menuruni tangga lantas menahan pergelangan tangannya lebih erat saat sampai di tanah berpasir. Sangat erat sampai Binar jatuh dalam dekapan Gandhi yang memeluk pinggangnya. Deru napas Gandhi jelas menyapu telinganya. Detak tak beraturan dan tangannya yang bergetar mampu menjelaskan ketakutannya. Mungkinkah itu? Masih punyakah rasa itu?
"Mau ke mana, Binar? Aku ingin berbicara denganmu. Tolong dengarkan aku ...."
"Aku ingin pulang!"
"Tidak, di sini saja, kumohon, Binar."
"Aku ingin pulang!"
"Kamu tidak boleh pulang."
"Untuk apa aku bersama orang yang tidak menginginkanku? Bersama orang yang tidak memedulikanku? Bahkan saat aku masih di sisinya sudah mempersiapkan kehilangan?"
Untuk kesekian kalinya, begitu mudah kamu menipuku, kamu membuatku menangis, kamu membuatku terluka. Janji penjagaan ternyata hanya seperti angin yang datang dengan kelembutan lalu kembali terbang.
Ivy telah mengering disengat matahari musim panas. Ivy yang kehilangan makna bahasanya. Cinta ini menyebar seperti Rhododendron yang mekar di alam liar. Malang dan menyedihkan.
Kupikir aku sudah lelah. Kita sudah terlalu jauh untuk saling berdekatan. Aku mulai kesulitan mengikuti cahayamu. Tidak peduli seberapa keras pengorbanan untuk urusan hati. Aku hanya gadis peri bunga yang bodoh. Terbang ke arah kobaran api, bersedia sakit. Membakar hati ini hingga menjadi butiran debu. Sayapku telah hilang dan mungkin aku tak bisa memberimu dekap kehangatan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange (END)
Teen FictionDON'T COPY MY STORY! A Sweet Story by Nora Aku tidak ingin mengirimmu pulang sekarang Aku ingin bersamamu lebih banyak Bahkan jika matahari terbenam Kita masih punya malam yang bersinar sambil menunggu matahari terbit keesokan harinya Aku meraguk...