15.3 Rhododendron di Penghujung Hari

10 10 1
                                    

Halo

Masih mau lanjut baca?

Selamat membaca!

Kondisi Gandhi dinyatakan semakin membaik. Sebab waktu sudah malam, petugas kesehatan menyarankan untuk menginap dulu dan besok pagi boleh pulang. Takutnya dalam perjalanan kembali akan terserang kedinginan lagi. Gandhi sudah mencoba meyakinkan bahwa ia baik-baik saja, tapi ternyata suaranya kalah telak.

"Bagun, Gandhi. Kamu mesti makan malam."

Suara itu lembut sekali. Binar membantu Gandhi duduk bersandar di kepala kasur. Pemandangan wajahnya yang manis tidak boleh ditinggalkan. Ke sudut mana saja larinya, Gandhi tetap mengikutinya. Jika membahagiakannya mampu menebus kesalahan hari lalu, ia akan melakukannya. Terlepas dari janji sama yang gagal ditepati, tapi kali ini ia bersungguh-sungguh. Cinta yang jangan terlalu lama ditunda, atau harus berakhir tidak tersampaikan.

"Sudah belum menatapku seperti itu? Apa wajahku ada yang berubah? Penampilanku, ya?" Binar jadi curiga ada yang aneh. Ia pun meraba mukanya barangkali ada sesuatu di sana.

Gandhi mengangguk. Setiap kali bertemu muka dengannya, Binar selalu merona seperti alergi. Lucunya, Binar tidak menyadari bahwa panas dalam tubuhnya bocor.

"Iya."

"Apa? Di mana?" Refleks mencari kaca tetapi tidak menemukan.

"Bahkan aku lupa sejak kapan wajahmu berubah semakin menggemaskan."

Menunduk lalu kembali mendongak dan menghela napas. Tersenyum agar air mata yang merebak bisa segera tersamarkan. Bagaimana jika kalimat menggoda yang dilontarkan setiap hari kemudian tidak lagi terdengar? Mungkin tidak akan ada orang lain yang mampu membuatnya panas dingin sampai ke ubun-ubun.

"Ayo buka mulutmu. Aaa ...."

Ketika Binar meniup bubur hangat itu kemudian menyuapinya, Gandhi makan sambil terus menatapnya dalam dan tersenyum.

Aku suka dirimu yang memedulikanku. Sampai suatu saat nanti. Selamanya. Kita saling merawat, menyayangi, dan menjaga.

"Kamu tidak bilang sama Paman dan Bibi soal ini, kan?" tanya Gandhi seketika Binar kaku sedikit, tapi langsung bisa dinormalkan kembali.

"Soal ini, ya ...."

Binar menggaruk tangannya yang tidak gatal, bola matanya bergerak gelisah. Gandhi justru menaikkan alisnya seolah menagih jawaban. Namun, tiba-tiba pintu terbuka menampilkan sosok pria paruh baya yang bermuka tegas berjalan menghampirinya. Binar menunduk sejenak untuk menyambutnya.

"Paman?"

Gandhi terperanjat melihat air muka Paman yang sudah dipastikan siap meledakkan api omelan. Ia mencoba memasang ekspresi ramah agar Paman luluh, tapi sepertinya sia-sia. Tidak dipungkiri bahwa raut ketakutan itu tercetak jelas dipandangan Paman.

"Bagaimana keadaanmu? Masih ada keluhan?"

"Semua baik."

"Yakin?"

"Sungguh."

Paman mengangguk lantas mengambil duduk di sisi ranjang. Hawa aneh mulai datang membuat atmosfer berubah menegangkan.

"Kamu takut?" tanya Paman sengaja memancing.

Jangankan Gandhi, Binar pun ikut membeku.

"Paman tunggu sampai kamu siap berbicara. Tidak apa-apa."

"Paman ...."

"Ya?"

Setelah beberapa waktu, Gandhi akhirnya siap berbicara. "Aku minta maaf."

Orange (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang