Hai!
Sebelum baca jangan lupa tekan bintangnya dulu, ya.
Bagian ini panjang!
Selamat membaca
Di sudut panggung, Binar mengintip suasana tempat pementasan yang sudah penuh penonton. Lampu sorot jatuh menerangi sepasang pembawa acara yang merupakan mahasiswa pilihan kampus. Acara dibuka dengan pidato singkat lalu dilanjutkan pembacaan sejarah Universitas Nusa Gemilang. Kemudian lomba pertama yang digelar adalah lomba baca puisi untuk kategori internal. Pembukaan yang cukup bagus ketika peserta membawakan puisi wajib putra dengan penuh penghayatan. Terdengar riuh sorak gembira dari para penonton maupun juri karena telah tersentuh sajiannya. Sedangkan kategori lomba eksternal masih berlangsung dua jam lagi.
Binar jadi kaku di tempat. Bagaimanapun, ia tidak berpengalaman soal panggung. Karena memang bukan medannya, ini sebenarnya juga tidak mau kalau bukan demi gejolak hatinya yang selalu meminta lebih. Namun untuk cintanya, bukankah berjuang selalu dilakukan oleh pemilik perasaan ini?
"Tanganku berkeringat, Gandhi. Aku juga sedikit gemetar. Bagaimana kalau mereka menertawakanku? Karena penampilanku?"
Tiba-tiba Gandhi menyembul dari samping. Tanpa menoleh, Binar langsung menceritakan kegelisahannya. Aula seluas itu terdiri dari banyak pasang mata yang siap menajamkan penglihatan menuju pusat perhatian. Tak lupa bahwa tidak semua mental siap menghadapi.
"Apa kamu tahu bahwa dataran rendah cocok menjadi tempat bercocok tanam?"
Binar mengangguk.
"Lingkaran ini adalah ladang yang dibuat untukmu. Kamu mataharinya dan orang-orang itu, mereka cuma kecambah-kecambah kecil yang baru keluar dari bijinya."
"Lalu ...."
"Untuk apa gugup menampilkan dihadapan tanaman itu? Bahkan jika kamu salah, simpan saja sebagai kenangan masa muda. Jika kamu benar-benar tidak sanggup menatap matanya, tatap saja keningnya, atau kamu lihat bintang sepertiku di sana."
Seketika berhenti meniup telapak tangan, mendelik tajam, lalu membuang muka. Dia bercanda tapi ia semakin berantakan.
"Kamu tahu aku semakin tidak sanggup jika itu kamu, Gandhi."
"Ingat Binar, sinarmu yang ditunggu-tunggu."
Berulangkali menormalkan detak jantung agar perasaan tenang. Fokusnya adalah mengalihkan perhatian yang membuat dirinya nyaman. Ia hanya akan membaca, begitu dan sudah selesai. Bila melihat figur Gandhi, segugup apa pun dirinya, misi itu harus dituntaskan sesegera mungkin. Ia yang dilanda antusias lagi dan lagi.
"Nanti kamu menontonku, kan?"
"Ya!"
"Di mana kamu akan duduk? Jangan di pinggir kanan atau kiri, jangan juga terlalu depan atau belakang, aku akan gugup jika terlalu dekat denganmu dan sedikit sedih bila penampilanku tidak kamu saksikan secara utuh. Duduk saja di tengah-tengah sana. Sangat strategis, kamu bisa menatapku dengan ukuran yang pas."
"Kamu sungguh menyuruhku?" Balik bertanya dengan senyuman licik.
"Jangan menyebalkan! Tunggu saja penampilanku. Ingat kamu tidak boleh meninggalkan tempat duduk sebelum aku meninggalkan panggung."
Suara mikrofon, seketika ia terperanjat ketika nomor urutnya disebutkan. Akhirnya tiba saat-saat menegangkan itu.
"Masih gugup?"
Biarkan bahasa tubuhnya bercerita. Ia tidak sanggup membalas.
"Kompetisi ini tidak usah dianggap serius. Bayangkan kamu hanya berbagi cerita dengan dirimu sendiri, sama seperti saat kita berlatih di ladang pasir. Tidak ada yang mencabik dagingmu sama sekali." Gandhi berikan edukasi sedikit sambil membenarkan letak nomor peserta Binar yang terletak di pinggang lantas menepuk bahunya beberapa kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange (END)
Teen FictionDON'T COPY MY STORY! A Sweet Story by Nora Aku tidak ingin mengirimmu pulang sekarang Aku ingin bersamamu lebih banyak Bahkan jika matahari terbenam Kita masih punya malam yang bersinar sambil menunggu matahari terbit keesokan harinya Aku meraguk...