17. Istana Negeri Ajaib (END)

43 12 6
                                    

Hai!

Ini pertemuan terakhir kita di bagian ini ....

Jujur nulisnya agak susah karena nggak nyangka Gandhi dan Binar sudah selesai.

Bacanya hati-hati, ya.

Selamat membaca

25 tahun yang lalu, di pesisir pantai, saat petang mulai datang ....

Sepasang suami istri sedang mengurus pembudidayaan rumput laut mereka. Padahal hari akan segera menggelap, tetapi belum ada niat untuk pulang. Sang suami sedang mengulur jaring-jaringnya dan melepaskan bagian-bagian yang saling berlilitan. Sedangkan sang istri menyalakan senter untuk menerangi suaminya.

"Apa sebaiknya kita lanjutkan besok lagi saja? Sudah malam, dingin."

"Tunggu, sebentar lagi selesai. Lagi pula di rumah tidak ada siapa-siapa lagi. Masih mending di sini ada suara ombak. Meski membosankan, setidaknya dunia punya suara."

Terlihat gurat sedih bercampur kecewa dari mata sang istri. Sedih karena harapan mereka yang belum didengar semesta, untuk diberi kepercayaan melahirkan seorang anak. Kecewa karena belum mampu memenuhi keinginan suaminya yang ingin segera menggendong buah hati mereka.

Orang-orang mengeluarkan cibiran setiap kali berpapasan dengannya. Katanya, sudah lama menikah tapi tak kunjung mempunyai bayi, bahkan mengatai bahwa mereka tidak bisa memiliki bayi. Namun, jauh di lubuk hati, yang tak tersentuh pandangan orang-orang itu, tidak ada harapan yang begitu besar dari sepasang yang telah sah kecuali memiliki bayi.

"Maaf, maafkan aku ...."

"Sudahlah, aku percaya hari itu akan tiba. Jangan dengarkan kata mereka. Cukup kita dan takdir yang tahu akhirnya."

Sang suami pun merangkul istrinya usai menghapus air mata yang luruh setiap kali membahas tentang anak.

"Ayo kita pulang. Aku ingin makan masakanmu."

Jika sungguh keajaiban takdir hinggap pada manusia yang dikehendakinya, malam itu, dalam perjalanan pulang, ia memohon dengan segenap ketulusan hati. Jika takdir menganugerahinya seorang bayi, ia akan menyayanginya lebih dari apa pun, dalam hari ini, besok, dan nanti, dalam suka maupun duka, bahkan dalam hidup atau mati. Jika saja takdir memberinya kepercayaan bahwa mereka layak menjadi orang tua, dan bayi itu adalah satu-satunya alasan dunia ini bersinar.

Sebuah suara nyaring mengalahkan riuh ombak. Suara terdengar bersih dan menyakitkan berhasil menggugah perhatian mereka untuk menyelisik sumber suara. Tak disangka-sangka, di bawah pohon cemara laut itulah tangis bayi merah menahan kesakitan. Tubuhnya yang kecil terbalut kain tipis, tampak tak berdaya di dalam keranjang rotan sempit.

Sang istri pun bergegas mengangkat bayi malang itu untuk didekap. Bahkan menanggalkan jaketnya untuk melilit tubuh bayi agar lebih hangat. Bibirnya yang mulai membiru, pasti bayi ini sangat kedinginan dan lapar. Ia pun menimang bayi itu berharap tangisnya reda karena ada orang yang mau peduli.

Meski belum menjadi seorang ibu, melihat makhluk tak berdosa ini, telah membuat hatinya teriris. Begitu pilu sampai-sampai air matanya luruh. Ia pun mengangkat pandangan ke arah suaminya, pandangan terdalam yang dibalas anggukan tegas.

Mungkin ini balasan semesta atas doa-doa yang tak pernah letih dilayangkan.

"Izinkan saya merawatmu, bayi kecil. Dengan setulus hati saya akan menjadi ibumu, yang rela apa pun demi kebahagiaanmu, selamanya."

"Namanya Gandhi Sandhyakala. Gandhi artinya matahari dan Sandhyakala diwaktu senja. Bayi mungil yang hangat, terima kasih sudah menjadikan hidup Ibu dan Ayah bersinar seperti matahari setiap hari."

Orange (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang