Sudah revisi
Jangan lupa vote dulu yaa
Ayo temenan di ig @ceritanora
Selamat membaca
Pemuda gila menyusuri dermaga, tempat segala aktivitas pesisir berjalan. Tempat kapal-kapal bersandar, mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Dengan candanya yang tumpah-tumpah, mungkin mereka tidak menyadari orang-orang dewasa menatapnya sambil mengulum senyum sedang dalam hati berkata banyak. Mereka juga tidak peduli. Dunia ini telah dimatikan dan hanya mereka yang punya. Hiperbola ini kacau sekali."Ingin menemanimu menonton matahari, bulan, dan bintang bersama. Bersedia menjadi wajah baru untukmu."
"Oh, ya?"
Orang ini menyebalkan sekali. Entah sejak kapan tawanya berubah menjadi sesuatu yang menjengkelkan tapi ia tidak bisa marah. Reaksi apa lagi ini?
"Kita tidak seharusnya menyelam lebih dalam, Binar. Perasaan seperti sejuta keajaiban ini mungkin membuatmu menghapus segala dendam pada ratu, mungkin kamu lebih bersyukur karena gelar gadis berkeberuntungan buruk milikmu terpatahkan, tapi perasaan ini seperti monster. Monster yang jahat sekali. Kubilang, sebatas tipu daya semata sebab siapa yang tidak bisa mengendalikan akan direnggut olehnya."
Mungkin sebagian kesadarannya sudah kembali. Jadi pikirannya mulai masuk akal. Namun gadis itu menyuruhnya diam, untuk berhenti memikirkan tentang kekhawatiran.
"Jangan katakan apa pun lagi, Gandhi. Diam dan rasakan saja angin romansa ini."
Karena sejujurnya, setelah memutuskan untuk berani jatuh, meski tak pernah malu-malu, tapi anak muda ini juga masih peduli dengan konsekuensi. Cuma pura-pura tidak apa-apa saja.
Hari itu matahari memantulkan cahayanya pada air laut yang tidak bisa tenang. Melihat ke bawah dan merasakan bagaimana jika air itu menggulung dirinya kemudian air akan mengombang-ambingkannya sebelum menghancurkan dagingnya. Jika ini tentang perasaan, mengerikan sekali bila seseorang harus rela menguliti dirinya sendiri karena sakit yang diciptakan sesuka hati.
Karena tidak punya teropong, jadi Binar menggunakan celah genggaman keduanya tangannya untuk menerawang jauh ke depan. Sebuah kapal mulai berlayar mendekat. Ada kapal yang mulai menjauh. Ada pula pulau tak berpenghuni yang kecil tertangkap penglihatan. Sekarang, arahkan teropong buatanmu pada objek lain. Laki-laki bergaris wajah halus dengan topi rajut menutupi sebagian rambutnya, sedang menunduk menatap ke bawah. Meski tanpa ekspresi tapi tetap betah lama-lama dipandang. Perbesar tangkapan objekmu, satu langkah, dua langkah, miringkan kepala, dan bom ... mata kami saling bertemu pada kedua ujung teropong.
Katamu selalu menyiratkan kekhawatiran tentang perasaan ini, bahkan secara tidak langsung menyuruh kita sama-sama mengakhiri, tapi kamu bersikap seolah tidak mau berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange (END)
Teen FictionDON'T COPY MY STORY! A Sweet Story by Nora Aku tidak ingin mengirimmu pulang sekarang Aku ingin bersamamu lebih banyak Bahkan jika matahari terbenam Kita masih punya malam yang bersinar sambil menunggu matahari terbit keesokan harinya Aku meraguk...