Halo!
Siapa yang kangen sama mereka?
Bentar lagi kita sampai diujung
Jadi pelan-pelan aja bacanya, biar hemat ketemu Gandhi dan Binar
Selamat membaca
Di akhir cerita bodoh ini, ia masih menjadi manusia tidak tahu arah. Keputusannya itu, disemogakan tidak akan membuatnya menyesal suatu hari nanti. Meski kenyataannya, saat malam dingin dan langit padam, ia baru akan tertidur saat semburat kemerahan muncul di ufuk timur. Keesokan harinya, ia terlambat masuk kelas dan berakhir dikeluarkan oleh dosen. Kalau tidak, sepanjang jam belajar berlangsung, Gandhi menghabiskan untuk tidur, setelah lelah memikirkan yang di sana sepanjang hari.
Aku tidak bisa hidup dengan baik tanpamu. Ini sudah kutahu sejak awal tapi aku tidak mau menunda kebahagiaanmu demi cinta kecil yang rentan dan begitu bodoh. Tidak apa-apa. Aku cuma belum terbiasa dengan keadaan yang berbeda. Nanti waktu akan mengobatiku, nanti sembuh sendiri.
Mendadak teringat kata-kata perpisahan bahwa ia berpesan agar semangat mengejar impiannya. Itu yang menjadi alasannya perlahan mengubah kebiasaan buruknya walau terasa sulit.
"Sejak kapan tiba-tiba menyukai permen loli? Apa kamu baru saja terjatuh yang menyebabkan otakmu tertahan di usia 5 tahun?" Teman sekelasnya menyeletuk.
Gandhi menggemari loli karena dengan loli ia merasa dekat dengan Binar. Meski di sini permen loli hanya semata-mata untuk menahan agar matanya tetap terbuka. Paling tidak tetap terjaga sampai kelas dibubarkan.
"Dosen akan memarahimu kalau ketahuan muridnya makan di dalam kelas. Cepat buang loli itu daripada kamu yang di tendang keluar."
"Berisik!"
Gandhi pun menjejalkan satu loli ke mulut temannya itu agar berhenti berpidato. Selama ia duduk di bangku barisan belakang aman-aman saja. Cuma pikirannya yang tidak aman karena dihantui bayangan gadis kecil jauh di sana.
Ketika kembali, tanah ini kehilangan suasana. Perasaan tergerus gelombang pasang yang menjadikannya hampa. Kembali dilanda kesepian padahal bumi masih menyimpan banyak orang. Suaranya diredam jarak, senyumnya hilang dari pandangan, dan sosok itu sebatas bayang yang selalu singgah meski mencoba menyangkal. Sedang bertanya-tanya bagaimana cara terbiasa tanpanya? Rasa sakit ini tidak ada ekspresi penyembunyian yang pantas.
Semakin hari justru semakin sulit dilupa, semakin sulit lenyap dari pikiran justru ia yang semakin sakit.
Rumah Bibi punya bahagia, canda, dan tawa yang tak pernah padam apalagi setelah kelahiran Ganika. Kehadirannya kembali di tengah-tengah mereka adalah hadiah kesempurnaan, tapi Gandhi merasa justru menjadi pengganggu. Meski mereka menganggapnya anak, tapi ke mana saja larinya, Gandhi hanya manusia asing yang diberikan oleh takdir kepadanya.
Hidup ini mengenaskan bagi mereka yang kurang beruntung.
Ia akui kebaikan Paman dan Bibi tidak mampu ditukar dengan apa pun. Namun akalnya mengatakan bahwa ada baiknya memulai hari yang baru. Bukan, bukan karena ia tidak bersyukur dan mengabaikan jasa-jasa mereka, atau justru ingin meninggalkan mereka sebagai balasan. Pemikiran ini hanya datang pada mereka yang dijatuhi ketetapan sama sepertinya. Gandhi rasa sudah cukup perhatian lebih Paman dan Bibi tercurah untuknya, biarkan kasih sayang dan cinta itu mengalir dan tumbuh seutuhnya untuk Ganika.
"Apa yang kamu lakukan dengan barang-barangmu?" tanya Bibi kala melihat Gandhi mengemasi barang-barangnya ke dalam tas padahal baru dua hari yang lalu Bibi selesai menata ulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange (END)
Teen FictionDON'T COPY MY STORY! A Sweet Story by Nora Aku tidak ingin mengirimmu pulang sekarang Aku ingin bersamamu lebih banyak Bahkan jika matahari terbenam Kita masih punya malam yang bersinar sambil menunggu matahari terbit keesokan harinya Aku meraguk...