Tak Ingin Usai

159 5 1
                                    

Tiga bulan sudah aku bercerai dengan Kiyanza Adiputra. Setelah ucap talaknya saat itu, seminggu kemudian Kiyan bepindah tempat tinggal. Dia tinggal kembali dengan mamah dan adiknya.

Lalu selang 3 minggu setelahnya kami resmi bercerai. Aku dan anak-anak tetap tinggal di rumah, aku juga tetap menjalani usaha rice bowlku seperti biasa.

Seperti pagi ini aku tetap menitipkan anak-anak kepada ka Nisa. Dan aku janjian mengantar Rice bowl dengan Karina dan Bragi dikantornya Karina. Baru saja aku bersiap-siap akan pergi, tiba-tiba aku melihat sosok yang sebenanya aku rindukan selama ini.

Dia berdiri di hadapanku sambil tersenyum kearahku saat aku sedang bolak balik memasukkan pesanan rice bowlku ke dalam mobil.

"Kiyan..." sapaku sambil menenteng beberapa sisa kantong rice bowl yang belum masuk mobil.

"Hai Sya..." balasnya.

"Hai...kamu apa kabar?" Ucapku yang terus menatapnya.

"Baik...
kamu sendiri?" Jawabnya seraya menghampiriku.

"Baik...
mmm ada apa pagi-pagi begini Kiyan?"

"Mau ketemu sama anak-anak, dan rencana mau ajak mereka ke rumah mamah..."

"Mmm terus nginep?"

"Iya...rencananya mau ngajak nginep sampe weekend ini..."

"Oooh yaudah...
Tapi karena kamu dadakan aku belum sempet rapih-rapihin dan aku bentar lagi harus segera pergi..." Ucapku yang menunjukkan sikap bingung, karena harus segera peegi juga.

"Yaudah nggak apa-apa...
Kamu kalau mau pergi, pergi aja...
Ada ka Nisa kan di dalam?"

"Oh iya ada..."

"Yaudah nanti aku minta tolong ka Nisa aja buat beresin keperluan anak2..."

"Ooh gitu...
Mm apa kamu mau nunggu nanti sore aku anter barang2 anaknya..
Sekarang kalau kamu udah mau bawa mereka yaudah nggak apa-apa..."

"Mmm iya boleh...
Aku tunggu nanti sore ya..." ucapnya sambil memegang pundakku sekilas.

"Iya....yaudah temuin anak-anaknya tuh, pasti seneng ada kamu sekarang..." ucapku sambil melirik kearah dalem rumah.

"Emmm...
Yaudah aku ke dalem dulu ya, kamu mau berangkat sekarang?" Tanyanya.

"Emm iya..." jawabku sambil menganggukan kepala.

"Yaudah ati-ati yaa..." ucapnya sambil mengelus lembut helaian rambutku.

Aku hanya tersenyum dan segera memasuki mobil. Ketika aku ingin menjalankan mobil dan pergi, ku lihat Kiyan masih berdiri di teras dan menatapku sambil tersenyum, lalu melambaikan tangan kearahku.

Akupun membalasnya. Dan aku segera melajukan mobil dan meninggalkan rumah.

Seketika perasaanku masih merasakan sesak didada setiap kali aku bertemu dengan Kiyan. Terakhir aku bertemu dengannya 3 minggu yang lalu. Begitu juga sama anak-anak. Dan dia masih saja bersikap hangat walaupun kami sudah bercerai.

Terkadang kami masih berkomunikasi menanyakan kabar atau sesekali aku mengomentari statusnya yang jadi seringkali dinas ke luar kota.

'Aku memutar waktu, dan teringat kamu yang ada disamping aku setiap hari...
Menjadi sandaran ternyaman, saat aku lemah dan lelah...
Tapi aku juga sadar, kalau sekarang aku tinggal sendiri, dan merenungi semua yang nggak mungkin lagi...
Semua telah aku terima, keputusan yang udah kamu buat. Satu yang sebenarnya harus kamu tau Kiyan, kalau aku masih menanti kamu untuk kembali...
Jujur...
Sebenarnya aku nggak mau kamu pergi, meninggalkan semua usai disini...
Dan nggak tertahan air mata ini masih saja bisa mengalir, mengingat semua yang telah terjadi...
Aku tau kamupun sama seperti aku, tak ingin cinta usai disini...
Tapi mungkin ini jalannya, kita harus berpisah...'

Ya aku terus berpikir seperti itu. Berpikir dia masih ingin bersama tapi aku tau dia memilih untuk bisa bahagia tanpa harus bersama aku, karena aku tau dia tidak ingin memiliki perasaan benci atas segala perbuatanku yang menyakitinya.

Dan hubungan kami saat ini memang lebih baik. Aku tidak pernah menerima perasaan benci dari Kiyan, sekalipun saat awal-awal dia menunjukkan marah dan kecewa terhadapku, dia masih bersikap sangat baik padaku.

Aku yang masih terus memikirkannya dan merasa sangat kehilangan sosoknya lalu memoriku yang terus saja memutar semua kisah kita, tidak pernah membuat aku tidak menangis. Seperti saat ini, aku selalu saja masih menangis setelah ketemu dengannya dan ketika mengingat semua yang aku lewati dengannya.

Tiba-tiba suara dering handphoneku membuyarkan memori2ku tentangnya.

"Ya hallo Kar..."

"Lo dimana Sya?"

"Ini gw baru mau masuk parkiran Kar...
Telatkah gw?"

"Mm nggak...
Gw malahan baru mau turun, takutnya lo udah nungguin, soalnya tadi gw dipanggil pak Wil dulu..."

"Ooh nggak ko...
Ini gw baru masuk basement...
Wait ya..."

"Iya oke Sya...bye..."

Telepon terputus, akupun segera mencari posisi tempat parkir. Setelah pas mendapat posisi parkir, ku parkirkan mobilku dan segera turun dari mobil sambil membawa beberapa kantong yang berisi pesenan rice bowl dari Karina dan Bragi.

Sebenarnya aku masih wanita yang berbagi hati dan memori. Karena setiap aku menginjakkan kaki di tempat ini sambil membawa pesanan sebanyak ini, memoriku juga memutar kisahku dengan Dipta. Ya tempat ini juga selalu mengingatkan aku dengan kisah Dipta. Tapi hati kecilku tidak ingin mengulang atau berharap masih bisa menjalani kisahnya lagi. Hanya harapan kalau saja Dipta tidak harus menghilang dari dunia ini, hatiku merasa lebih baik walaupun kisahku dengannya memang tidak bisa bersama.

Apa aku terkesan mencari pembelaan kalau aku sampaikan sebuah perasaanku yang mengatakan. Aku memang kehilangan Dipta, dan memory tentangnya pasti tidak akan pernah hilang, karena perasaanku pada Dipta nyata dan hadir bertahun-tahun lamanya sebelum kisahku dan Kiyan terjadi, sehingga hal itu lah yang membuatku juga tidak bisa begitu saja melupakan sosok Dipta dan masih sangat merasa kehilangan. Karena aku tidak ingin seperti ini, tidak bisa melihatnya lagi. Aku masih berharap bisa melihatnya dalam kisahku yang lain. Tapi semuanya juga usai dan untuk selamanya.

Memory Dipta yang terputar ulang membuat aku hilang fokus ketika berjalan, sehingga berjalan tanpa kontrol dan menabrak seorang laki-laki yang sepertinya baru saja turun dari mobil dan sedang asik melihat hp nya ketika berjalan menjauh dari posisi mobilnya.

Bruk...
Aku hampir terjatuh, tapi segera tertahan tanganku oleh tangan laki-laki ini yang langsung memegang erat pergelangan tanganku.

"Eh sorry sorry mba..."

Aku menoleh kearahnya sambil melepas halus pegangannya.

"Nggak apa-apa mas, saya yang minta maaf jalan tanpa rem..." ucapku tanpa ekspresi dan hanya menatapnya.

Aku juga melihat dia tidak bergeming dan hanya menatapku dengan ekspresi bingung , hal itu terlihat dari kerutan alisnya yang hampir menyatu.

"Rem...?" Ulangnya.

"Iya maksudnya kalau aja aku fokus saat jalan tadi pasti aku tau kamu akan keluar dari arah sini dan pasti aku nggak akan terus berjalan sampe akhirnya nabrak kamu..." ucapku sambil dengan gestur tubuh yang memperagakan ulang posisi kita tadi.

Dia hanya diam memperhatikanku.

"Iya kan?" Ucapku lagi.

"Hah?
Ah iya iya...itu rem ya...
Iya...
Mm yaudah...silakan..." dia memberikan isyarat dengan tangannya untuk mempersilakan aku berjalan duluan.
Tapi aku menolaknya.

"Mmm nggak...mas nya aja duluan..."

"Serius?" Tanya nya.

"Iya..." jawabku singkat.

"Mm oke..." jawabnya sambil melanjutkan langkahnya.

Akupun berjalan beberapa meter dibelakangnya. Sesekali aku melihat kearahnya yang terus berjalan tanpa menoleh sampai memasuki lift. Saat dia memasuki lift, langkahku sedikit melambat, agar tidak satu lift dengannya.

Dan caraku berhasil, entah apa yang aku rasakan sampai aku tidak ingin berlanjut satu lift dengannya. Padahal ini adalah lift satu2nya yang naik kearah lobby.

PEMERAN UTAMA : CONTINUE LURUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang