Part 3

4K 158 1
                                    

Saat ini Jovita dan Arman berada di sebuah cafe yang terletak tidak jauh dari taman tadi, Jovita ingin mengajukan beberapa pertanyaan atau bisa di bilang Jovita ingin tau tentang Arman yang akan menjadi suami 100 jutanya.

Mereka duduk di tempat yang cukup sepi, di sudut cafe agar tidak banyak orang yang mendengar percakapan mereka, bagaimana juga Jovita sudah memilih siapa yang akan menjadi ayah dari janin dalam perutnya, jadi ia harus tau semua hal tentang Arman.

Bukan cuma itu, Jovita juga akan menceritakan prihal dirinya kepada Arman, itu di lakukan agar nanti saat bertemu orang tuanya, Arman tidak kaku dan salah menjawab pertanyaan dari kedua orang tuanya.

Secara garis besar, Jovita bisa menebak reaksi seperti apa yang akan di tunjukan kedua orang tuanya, yang pertama pastilah marah dan kecewa, lalu setelah itu pasti akan ada sedikit kekerasan, mungkin Arman akan mendapat bogem mentah dari ayahnya, tapi itu tidak masalah karna hal itu sudah ada dalam perjanjian.

Sedari tadi setelah duduk di cafe, Jovita tidak lepas memperhatikan gerak-gerik bahkan wajah Arman, wajah yang polos dan juga sedikit kampungan menurut Jovita, selain itu Jovita melihat kalau Arman sedikit gelisah saat berada di depannya.

Beberapa kali Arman menatap ke arah lain dan tidak mau menatap ke arahnya, walau pun cukup kesal tapi Jovita harus memaklumi karna mungkin Arman orangnya pemalu.

"Mas mau pesan apa?" tanya Jovita membuka pembicaraan.

"Tidak usah mbak. Saya tidak mau merepotkan, saya juga engga tau makanan di tempat seperti ini," jawab Arman tidak menatap lawan bicaranya.

"Memangnya mas belum pernah ke cafe sebelumnya?"

"Boro-boro ke cafe mbak, buat makan aja susah, palingan juga pernah sekali itu pun makan di warteg depan rumah."

Jovita cuma ber'oh' saja, Jovita tidak menyangka kalau kehidupan Arman sesusah itu, mungkin memang momen yang tepat dirinya menawarkan hal itu kepada Arman.

Mungkin bisa di bilang ia menjadi penyelamat dalam kehidupan Arman, ia membantu meringankan beban hidup orang lain dan tentu dirinya mendapat balasan yang di inginkan.

"Hmm, baiklah. Kalau begitu biar saya yang pesankan." Jovita membuka buku menunya.

"A-anu, mbak! Mm, bagaimana kalau kita langsung ke intinya saja, ini sudah malam, saya mau ke rumah sakit nungguin ibu saya." Arman menyela.

"Oh ok." Jovita kembali menutup buku menu di tangannya.

Jovita berdehem sebelum mulai berbicara panjang lebar, tapi sedari tadi Arman selalu saja menghindari bertatapan dengan dirinya, jujur itu sedikit menghina perasaannya sebagai seorang wanita.

"Mas bisa menatap saya saat kita ngobrol! Jujur saya merasa tersinggung dengan sikap mas," ucap Jovita blak-blakan.

"M-maaf mbak! S-saya takut dosa, mbak bukan makhrom saya," balas Arman masih kukuh.

"Sebentar lagi kita menikah, jadi saya ingin mas melihat ke arah saya, kita juga akan hidup bersama setelah ini," tekan Jovita.

"T-tapi, tetap aja mbak, kita masih belum makhrom." Arman masih kukuh.

"Tatap saya atau saya batalkan kontrak kita," ancam Jovita.

"Eh! I-iya mbak iya." Akhirnya Arman mau menatap ke arah Jovita walau pun ragu-ragu.

"Gitu kek dari tadi. Saya tidak perlu ngegas kalau kamu nurut."

"Iya mbak maaf!"

"Sudahlah. Sebelum saya mulai, saya mau memperkenalkan diri dahulu. Nama saya Jovita tanusuwiryo, umur saya 25 tahun dan saya seorang wanita karir, kamu bisa panggil saya Vita," ucap Jovita memperkenalkan dirinya.

Arman mengangguk lalu memperkenalkan dirinya. "Saya Arman, Arman maulana nama lengkap saya, umur 22, saya pernah kuliah tapi berhenti karna engga punya biaya dan saya nganggur saat ini."

"22? K-kamu lebih muda dari saya?"

"Mm, i-iya. Mbak ada masalah sama umur saya?"

"Ya engga sih. Tapi saya bingung ngejelasinnya ke orang tua saya nanti. Ya sudahlah tidak apa, kita bisa pikirin itu nanti."

"Iya mbak. Maaf sebelumnya!"

"Hmm. Kalau begitu saya ingin tau semua tentang kamu dan keluarga kamu, keseharian kamu dan yang lainnya agar nanti saat kamu ketemu kedua orang tua saya kita sudah saling mengenal dan engga di curigai oleh mereka."

"Iya mbak saya paham."

Arman pun mulai menceritakan tentang dirinya, dari mulai sekolah dulu sampai saat dimana iya menjadi pengangguran saat ini, dengan cukup polos Arman menceritakan semua tentang dirinya.

Bukan cuma itu, Arman juga bercerita tentang keluarganya, tentang dirinya yang cuma hidup bersama ibu dan adik perempuannya, kehidupan sulit yang mereka jalani juga di ceritakan sampai tuntas.

"Hmm, baiklah biar saya ulangi cerita kamu," kata Jovita setelah selesai mendengar cerita Arman.

"Nama kamu Arman maulana, umur 22 tahun mantan mahasiswa di salah satu universitas di Jakarta, kamu mempunyai seorang ibu bernama Hanifah dan seorang adik perempuan bernama Hafsah, kalian hidup di rumah kontrakan dan ibu kamu sedang sakit dan akan di oprasi besok. Betul seperti itu?" Jovita meringkas semua cerita Arman.

"Iya mbak," balas Arman.

"Ok. Sekarang saya akan ceritakan tentang diri saya." Jovita mulai menceritakan tentang dirinya.

Cukup banyak yang di ceritakan karna Jovita ingin rekayasanya di percayai oleh kedua orang tuanya, ia tidak ingin ada satu kesalahan yang berimbas masalah lain nantinya.

Jovita menceritakan hal-hal yang dirasa cukup penting saja.

"Segitu dulu tentang saya, nanti saya akan ceritakan lagi tentang saya," pungkas Jovita di akhir cerita.

"Iya mbak." Arman mengangguk paham.

"Kalau begitu mari kita bahas kontrak pernikahan kita."

"I-iya."

"Hmm. Saya akan membayar kamu 100 juta untuk menjadi suami kontrak saya, setelah anak ini lahir kita akan bercerai dan kamu bisa hidup bebas dengan perempuan yang kamu cintai, lalu selama pernikahan kita akan hidup bersama namun tidak tidur satu ranjang, kamu harus bersikap layaknya seorang suami sungguhan, saya juga bisa memerintah kamu sesuka hati saya. Apa perkataan saya jelas?"

"I-iya mbak, sangat jelas. T-tapi apa bisa mbak membayar saya separu saat ini? Saya butuh untuk oprasi ibu saya besok."

"Tentu. Saya akan kasih dp nya untuk oprasi ibu kamu besok. Nanti biar saya yang urus semuanya, kamu tidak perlu risau."

"Makasih mbak!"

"Hmm, kalau begitu saya minta kontak kamu agar mudah berkomunikasi."

"Maaf mbak! Saya tidak punya ponsel sama sekali, ponsel saya yang dulu sudah saya jual untuk kebutuhan dapur."

"Astaga! Lantas bagaimana saya menghubungi kamu nanti?"

"Saya engga tau, m-maaf!"

"Kalau begitu kamu ambil ponsel saya untuk sementara."

"Eh! T-tidak usah mbak. Lebih baik mbak datang saja langsung ke rumah sakit, saya selalu nungguin ibu saya disana."

"Baiklah kalau itu mau kamu. Lalu untuk isi perjanjiannya kurang lebih seperti yang saya bilang tadi."

"Iya mbak saya paham."

"Kalau begitu kita deal!" Jovita mengulurkan satu tangannya.

Arman hanya menatap itu tidak berniat untuk membalas menjabat tangannya, Arman hanya menyatukan kedua tangannya di depan dada sebagai tanda setuju.

"Oh ok!" Jovita paham dengan maksud Arman.
"Kalau begitu sampai jumpa besok pagi di rumah sakit."

Setelah itu urusan mereka saat ini selesai dan keduanya kembali ke aktivitasnya masing-masing.

* * *

...TO BE CONTINUE...

SUAMI 100 JUTA ✅ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang