Six Ways To Sunday - DuGem Berak 3.2

12.2K 1.3K 34
                                    


Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


Aku hampir mati ketika mendengar panggilan itu. Lagi-lagi intuisiku yang hobi kabur itu mengambil alih kinerja kaki dan tiba-tiba saja aku sudah masuk ke dalam kamar dan telingaku mendengar bunyi pintu yang berdebum. Tanganku pun ikut bekerja sama dengan mengunci pintu. Tahu kalau sebentar lagi Rei yang tidak tahu boundaries itu akan masuk dan merongrongku untuk keluar kamar dengan alasan sopan santun. Padahal aku tahu apa yang perempuan itu lakukan adalah untuk melihatku menderita.

Tepat seperti dugaanku. Kenop pintu bergerak dan gedoran terdengar dari seberang pintu. "Oja! Ini Lio nyapa kok dicuekin." Suaranya terdengar serius. Seakan menegurku, tapi aku dapat membayangku senyum yang tersungging di bibirnya.

Aku berpura-pura tuli dan berdiam di dalam istanaku tanpa gangguan dua orang di luar. Aku hanya perlu menunggu hingga siapa tadi namanya? Liora? Ah, iya Liora, untuk pulang dan aku bisa keluar untuk makan.

Aku kembali ke atas ranjang. Masih dengan jantung yang berlari seperti kuda pacuan dan napas yang seperti habis berlari puluhan kilo meter.

Kepalaku tergelak di atas bantal, sementara telingaku menaruh perhatian penuh pada suara-suara dari luar.

"Dia menceret kayaknya, Lio. Dia sering gitu memang. Beberapa kali cepirit juga."

Samar-samar aku dapat mendengar suara Rei yang membuat mataku mendelik, tapi aku masih enggan untuk keluar kamar dan mengoreksi omongan asal Rei. Aku akan membalasnya dengan hal lain nanti, tapi kini tubuhku sudah mendekat ke arah pintu. Menempelkan telinga pada daun pintu untuk mendengar lebih jelas.

Kikikan Liora mengudara yang disambut dengan ejekan dari Rei lagi kepadaku. "Lio mau aku anterin pulang? Oja biasanya bisa seharian di toilet kalau lagi diare."

"Nggak usah, Tante. Aku bisa pulang sendiri."

Aku menunggu untuk pintu depan tertutup dan langkah-langkah kecil dan sering itu menghilang dari ruang tengah untukku bergerak ke jendela yang menghadap bagian depan rumah. Liora melambaikan tangan pada Rei yang menunggui bocah itu hingga masuk ke rumah sebelah sambil terus membalas lambaian.

Aku keluar dari gua persembunyianku ketika Rei memanggilku dengan ejekannya. "Makan yuk, Pengecut."

Bibirku maju lima senti. Biarpun aku tahu sudah pasti ini akan menjadi bahan ejekan, tapi aku tidak bisa tidak merengut ketika mendengarnya kalimat itu keluar dari Rei. Aku membariskan rantang di atas meja makan yang terbuat dari kayu jati berwarna cokelat tua. Hanya sekejap, permukaannya sudah berisikan tiga macam lauk dan capcai seafood.

Rei yang tadi berjalan ke dapur sudah kembali dengan dua buah piring dan peralatan makan di kedua tangannya. Satu piring diletakkan di depanku, setelahnya Rei lalu berjalan ke seberang meja makan dan duduk di sana. Lauk pauk di atas meja mulai berpindah ke atas piring kami masing-masing. Ada ayam rica-rica, ayam goreng dengan sambal andaliman, dan yang terakhir oseng sapi. Beruntungnya, ada nasi di rantang itu juga sehingga kami tidak perlu menunggu sambil kelaparan hingga nasi matang.

"Lio cantik," ucap Rei tiba-tiba di antara kunyahannya. Mataku melirik sekilas ke arah sahabatku itu sebelum kembali ke piringku yang penuh dengan makanan.

Aku tidak menanggapi ucapan Rei dan fokus pada sambal andaliman yang bercampur dengan ayam. Rasa getir yang menggigit lidah muncul ketika aku mengunyahnya terlalu banyak, tapi aku sudah terbiasa karena Mama sering memasaknya dulu. Ini sungguh enak, biarpun tidak sebanding dengan masakan Mama.

"Anaknya pinter pula."

Aku masih bersikeras tidak menanggapi dan kini mengambil oseng sapi seraya mengira-ngira makanan ini dibeli dari resto mana.

"Dia juga mandiri banget kayaknya."

Kalimat ketiga ini membuatku memutuskan tatapan pada lauk di atas piring dan beralih pada Rei yang tidak akan berhenti mengoceh. Aku akan memutus status sahabat perempuan ini. Segera.

"Terus? Lo mau daftar jadi nyokapnya?" tanyaku kesal. Yang aku inginkan setelah seharian ini adalah menikmati makananku dengan tenang. Satu suapan masuk ke dalam mulutku lagi.

Rei mengunyah sambil terus berbicara. "Gue nggak tertarik sama gebetan sahabat gue, sih. Tapi kalau anaknya cakep gitu, bisa dipikir ulang."

"Bahan pertimbangan buat memperbaiki keturunan, ya?"

"Iya."

"Sayangnya lo lupa kalau lo bukan Anya yang cakep dari lahir tanpa bantuan jarum-jarum kayak lo," balasku telak.

Rei mendengkus dan kembali menyuapkan makanannya lagi. Sama sekali tidak terpengaruh dengan ejekanku yang sadis tadi. "Semua orang perlu botox pada waktunya. Gue mau hilangin kerutan di dahi, nih. Lo mau ikutan, nggak?"

"No, thank you. I want to age well like a fine wine."

"Lo age well like a tape. Garis di mana-mana."

Aku melempar Rei dengan sendok yang kini sudah menghantam lantai karena tidak kena ke perempuan sialan itu. Aku lanjut makan menggunakan tangan. Ini jauh lebih nikmat. Aku bisa merasakan lembutnya daging ayam serta renyahnya kulit dengan permukaan jari sebelum memasuki mulut. Belum lagi, bumbu-bumbu yang menempel di jariku yang dapat dijilat setelah makan. Iya, itu jorok. Tapi itu nikmat. Sue me.

"Lo berencana kabur sampai kapan? Tetanggaan gitu, susah banget kaburnya."

Ketika aku mengira sudah berhasil mengecoh, Rei kembali melempar topik ini. Susah sekali memang untuk mengocek sahabatku itu jika tujuannya sudah jelas.

"Lo lupa kalau gue nggak pernah berminat buat keluar rumah sering-sering? Gue bisa hidup dengan tenang di sini."

12/11/22

Heyho, aku ubah jadi POV 1 ya. aku kebiasaan nulis pakai ini jadinya sekarang wkwkw lebih dapet juga kalau romcom menurutku

 aku kebiasaan nulis pakai ini jadinya sekarang wkwkw lebih dapet juga kalau romcom menurutku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang