Six Ways To Sunday - 19.1 Hati-Hati Sama Hati

6.5K 751 73
                                    




Question of the day: Lebih suka dine in di restoran atau makan di rumah?

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.

Thank you :)

🌟


Lego yang dibelikan oleh Amos sudah selesai aku rakit. Monster truck yang dapat aku kendalikan dengan remot kontrol, tapi aku tidak berniat melakukannya. Aku hanya akan memajangnya di lemari kaca yang memang aku khususkan untuk koleksi legoku. Kebanyakan isinya dari Amos. Sisanya dibelikan oleh Rei untuk kado ulang tahun dan juga ayahku sewaktu aku belum berpenghasilan. Bahkan terkadang beliau masih seling membelikanku saat melihat keluaran terbaru yang belum aku miliki. Tiba-tiba beliau akan mengirimkan gambar dan bertanya di pesan singkat, "Inang, sudah punyakah yang ini?" Yang aku akan jawab belum dan keesokannya lego itu sudah di kamarku dengan rentetan omelan ibuku yang terdengar di luar kamar.

"Itu Lego hasil taruhan? Bukannya itu harganya di atas lima juta?"

Aku mendapati Rei sudah merebahkan diri di atas ranjangku. Kedua tangannya terbuka lebar di samping tubuh. "Lo kenapa jadi sering banget ke kamar gue?"

"Duo keriwil soalnya nggak ke sini lagi. Bapaknya juga. Gue kesepian."

"Lo aja yang ke sana."

"Itu Lego bukannya di atas lima juta?"

"Iya."

"Lo nombok?"

Aku menggeleng. "Amos yang bayarin karena gue bilang gue kasih dia tontonan."

"Tontonan apaan? Lo gimana kencannya minggu lalu? Belum ada cerita."

Aku menceritakan dengan detail meskipun enggan. Ke semua detailnya karena percuma juga mengurasi ceritaku jika Rei akan tahu ada yang tidak didengarnya dariku. Dia akan mencecarku dengna berbagai pertanyaan hingga aku menyerah. Jadi, lebih baik aku menceritakannya langsung saja jika tidak ingin pusing sendiri.

"Mundur dikit ke bagian sebelum lo dan Amos beli Lego. Gue mau bikin catatan buat balik ke sana." Dia membuka ponselnya. Mencatat sesuatu. "Lo bilang kalian hampir ciuman?"

"Kayaknya? Gue nggak tahu juga. Tapi gue dapet feeling kayak gitu. Mukanya sedeket ini," aku menggunakan telapak tanganku untuk menggantikan wajah Amos. Mengingat sedekat apa wajahnya dariku. Atau hangatnya tangan cowok itu yang menyentuh pipiku "Matanya juga ngelihat ke bibir gue."

"Terus lo dengan pintarnya bahas taruhan kalian?" Rei menaikkan satu sudut bibir, setengah layar matanya tertutup dengan alis naik tinggi. Ekspresinya jelas dia mempertanyakan kepintaranku dibanding kata-katanya yang masih tergolong halus.

Aku mengikuti Rei dengan tertidur di sampingnya dia tas ranjang. "Terus gue harus bahas apaan? Gue harus tanya dia mau cium gue apa enggak, gitu?"

"Iyalah. Itu suasanya lagi pas banget buat khilaf."

Kaki Rei menjadi pelampiasan kekesalanku dengan tendangan pelan. "Gue sama dia baru balik ke posisi semula. Lo gila kali."

"Emangnya lo nggak punya perasaan apa-apa lagi sama Amos? Not even a little bit?"

Gigi taringku kembali menancap ke bibir. Kalau diberikan pertanyaan ini, aku sendiri tidak yakin jawabannya. Apa yang aku rasakan saat bersama Amos? Selain marah, yang aku tahu tidak pada tempatnya karena Amos sama sekali tidak berkewajiban membalas perasaanku, terutama karena aku dengan curang menjatuhkan bom perasaanku sebelum pernikahannya, semuanya masih sama. Aku masih merasa dapat menceritakan banyak hal kepada Amos, rasa nyaman tanpa perlu takut akan dihakimi, aku juga tidak perlu menyaring kata-kataku karena tahu Amos akan membalasku dengan sama kejamnya.

"It's like he falls back to fill the pieces. Kayak kita mulai lagi dari terakhir kita ketemu, tanpa fase awkward. Gue yakin perasaan gue ke dia nggak kayak dulu lagi, tapi dengan hubungan kami yang balik kayak dulu, gue takut hati gue baca signal yang salah terus lompat ke lubang yang sama lagi. Plus, kalau gue terusin, gue bakalan balik ke fase saling nggak kenal lagi dan itu hanya karena gue sama dia kebawa suasana. Ini aja dia hilang nggak berbekas."

Rei menjentikkan jarinya. "Ah, pantes dia nggak ke sini lagi padahal hari ini Sabtu. Sabtu minggu lalu dia udah bawa dua keriwil ke sini pagi-pagi sambil bawa sajen nasi uduk."

"See? Segala sesuatu yang berdasarkan karena suasana nggak bakalan berakhir baik."

"Lo nyindir gue, ya?"

Aku mengangkat bahu sekali. "Yang ngerasa aja."

Rei balas menendangku. "Mendingan gue yang akhirnya punya cerita, dibanding penasaran doang karena nggak pernah dilakuin."

Shit. Dia sadar kalau aku penasaran.

"Hidup itu kayak rangkaian bikin kesalahan, berdiri, bikin kesalahan lagi, berdiri lagi, gitu terus sampai lo tua. Sekarang emang bikin nyesel, tapi ntar jadi cerita.  Contohnya, lo sekarang bisa ceritain soal Amos tanpa nahan nangis lagi kayak dulu. It takes time, but it will get easier."

"Atau lo perlu habisin banyak uang buat terapi," sambungku berdasarkan pengalaman.

"Itu juga, tapi kalo lo nggak nyebur, gimana lo tahu lo bakalan perlu terapi atau lo bakalan bahagia. Sometimes, the one that hold us back from happiness is ourselves."

Aku tidur menyamping, menghadap Rei yang masih telentang. "Lo habis makan apaan sampai bijak gini? Biasanya orang berubah kalau udah mendekati ajalnya buat kasih pertanda."

Kepalaku digeplak oleh Rei tepat di akhir kalimat. "Lo yang bentar lagi mendekati ajal kalau ngomong asal mulu. Apa salahnya juga kalau deket sama Amos lebih dari sahabat?"

"Banyak. Lo tahu kalau dia punya anak setan dua biji. Deket sama dia lebih dari sahabat, berarti gue juga harus deket sama anaknya. Kalau ini nggak berjalan lancar, gue nggak kehilangan satu orang doang, tapi tiga orang. Hak apa yang gue milikin buat ketemu dua bocah itu lagi nanti kalau gue sama bapaknya nggak berakhir baik? Belum lagi kita tetanggaan. Gue nggak tahu kapan dia pindah, atau gue pindah, jadi buat sementara dan untuk waktu yang tidak ditentukan, kita stuck tetanggaan."

Aku enggan mengakui, tapi dua bocah itu menjadi bagian yang wajar jika berada di sekitarku. Celotehan mereka, keributan yang mereka buat, serta kebiasaan kecil yang mereka lakukan sudah aku hafal di luar kepala.

"Itu juga kalau bapaknya beneran punya perasaan sama gue. Kalau cuma karena suasana dan sesaat, gue ngerasa jadi orang paling goblok. Because the second our lips meet, I will dive headfirst into a relationship that only happens in my head. It's a good thing I put a break on this before it spirals out of control."

5/10/23

Hayooo Amosnya ilang lagiiiii

Hayooo Amosnya ilang lagiiiii

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang