Six Ways To Sunday - 10.1 Jaja, Momo, Dan Teh

8.5K 1.2K 81
                                    


Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)

🌟


Aku menyerahkan tongkat estafet ke Rei saat dia harus berangkat menjemput Liora. Aku melambai penuh dengan suka cita dengan sapu tangan di tangan kananku. Aku hampir saja menitikkan air mata karena menjaga balita yang sangat ketakutan jika ditinggal membuatku sangat kelelahan.

"Mungkin dia takut ditinggal kayak emaknya ninggalin dia." Rei berseloroh saat aku gemas Adara tidak mau melepaskan lengan gembilnya dari leherku. Tentu saja dengan bahasa inggris karena dia tidak ingin Adara paham apa yang kami bicarakan.

"Dia masih terlalu kecil untuk paham."

"Lo nggak tahu apa yang bocah-bocah ini tahu. Semua ada alasannya, Oja."

Aku menatap belakang kepala bocah dalam gendonganku yang masih menempelkan pipinya ke bahuku.

Satu jam setelah keberangkatan Rei menjemput Liora, kepalaku sudah penuh. Ponselku pun sudah membuka banyak tab berisikan artikel-artikel mengenai trauma yang dialami anak di bawah tiga tahun, bagaimana itu mempengaruhi anxiety disorder atau depresi yang muncul di saat dewasa jika tidak dilakukan perawatan. Lalu artikel lain bagaimana stres dapat memicu sakit yang lebih rentan pada anak-anak. Sementara aku sejak dulu selalu mendengar orang-orang yang mengatakan "Ah, mereka masih anak-anak. Nggak bakalan ingat." Tidak tahu bahwa apa yang kita lakukan sekarang efeknya di jangka panjang.

Bisa dibayangkan tidak umur sekecil itu harus memiliki trauma dan terus membawanya sampai dewasa sedangkan pelakunya berpikir bahwa mereka tidak melakukan hal yang salah. Orang-orang kadang terlalu fokus dengan luka fisik, tetapi lupa ada luka batin yang juga butuh tahunan untuk sembuh. Atau bahkan meninggalkan bekas yang sulit untuk disembuhkan.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Liora dan Adara karena ditinggalkan oleh ibunya begitu saja. Demi pria lain juga lagi.

Not that I care, tapi aku perlu mengirimkan artikel ini kepada Amos tidak, ya? Apa Liora dan Adara sudah dibawa ke psikolog anak?

Pang of guilt seeps into my bones.

Suara mobil yang berhenti di depan rumah serta pagar yang dibuka membuatku menutup seluruh pencarianku di ponsel. Membiarkan Rei mengurus semuanya sendiri, karena itu yang dilakukannya tadi padaku. Ha!

Liora keluar mobil dengan tas sekolahnya. Dia berlari ke dalam rumah yang memang pintunya sengaja kubiarkan terbuka. "Tante Jaja!" Sebelum bocah itu sempat menabrakkan tubuhnya kepadaku yang duduk di atas sofa, aku sudah mengelak hingga tubuh kecilnya jatuh ke atas sofa.

Aku memang merasa bersalah. Sedikit. Tapi bukan berarti aku mau beramah tamah dengan keturunan setan versi pocket-size ini.

"Kamu sama Rei," kataku dan langsung ngacir ke lantai dua untuk mengerjakan pesanan, tapi harus turun karena perutku protes minta diisi.

Tidak ada keributan di lantai bawah membuatku celingukan mencari tiga orang yang sedari bokongku menempel di kursi kerja, sudah menimbulkan kegaduhan. Entah Rei yang berteriak meminta Liora untuk mengganti bajunya, atau Liora dan Adara yang berebutan mainan. Aku sedikit bersyukur mendapatkan jadwal pagi meskipun itu berarti aku harus bertemu dengan Amos. Mendengar keriuhan di bawah sudah membuatku pusing. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kepala Rei mau pecah, biarpun tingkah kesabaran yang dimiliki sahabatku itu jauh lebih tebal dariku yang seperti selembar tisu.

Aku menemukan Rei menyandarkan pipinya di meja makan. Matanya tertutup dan nyawanya hanya tertahan benang tipis di ujung kepala. Aku terbahak.

"Makan tuh dua anak," ejekku. Tanganku membuka kulkas, mengeluarkan lauk untuk dipanaskan di microwave. Aroma ayam rica-rica dengan nasi hangat membuat air liurku mengalir deras. Satu suapan pertama masuk ke dalam mulut, gerutuan Rei sudah berhenti dan dilanjutkan dengan ocehan.

Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang