Six Ways To Sunday - 19.2 Hati-Hati Sama Hati

6.5K 869 137
                                    


Question of the day: buat tau demografi, kalian dari kota mana? 

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.

Thank you :)

🌟


 "Tapi kita tahu kan peraturan itu nggak berlaku kalau hati lo yang udah ngomong? That little shite will do whatever it wants."

"Tahu. Makanya gue rada bersyukur Amos yang kasih jarak sendiri."

"I just want you to know I'm here for you. Apa pun keputusan lo. Kalau lo sama Amos dan kalian putus, kita bisa bikin rencana buat hilangin dia dan ambil hak asuh duo keriwil. Gue bakalan nonton berita soal pembunuhan yang rinci di youtube buat referensi mulai sekarang." Rei bangun dari ranjangku dengan ocehan dan rencananya. Aku sempat bingung apa dia serius atau sedang bercanda dengan kerutan di dahinya yang dalam.

Ketika Rei sudah memegang gagang pintu kamarku, dia berbalik dan kembali bertanya. "Terus ceritanya Lego dapat yang lebih dari nilai taruhan kalian gimana?" Aku sudah siap menjawab, tapi Rei menyelaku dengan tepukan di jidatnya sendiri. "Lupa gue. Amos kan bilang enggak itu di mulut doang, tapi kalau lo yang minta selalu diturutin."

Rei sudah menghilang dari kamarku. Aku masih berada di posisi yang sama. Mataku memandang langit-langit kamar, tapi fokusku entah ke mana. Aku membiarkan kepalaku berjalan tanpa arah. Menggali memori yang melekat erat di dalam kepalaku. Saat pertama kali aku sadar kalau perasaanku kepada Amos bukan sekedar cinta monyet. Bagaimana aku terlalu takut untuk mengatakannya sehingga aku lebih sering kabur dan menjalin hubungan dengan orang lain alih-alih menyatakan perasaanku.

Aku takut hubungan kami akan berubah jika kami tidak berada di titik yang sama. Aku takut kehilangan dia sebagai sahabat dan memilih mencintai dalam diam dan mematikan perasaanku.

Khayalanku sebelum tidur selalu sama. Aku mengeluarkan keberanianku dan kami berakhir menjadi pasangan. Tapi semua orang tahu kalau bermimpi adalah hal yang mudah, sampai kamu tidak lagi berani melakukannya karena takut berharap.

Dulu, senyumku selalu mengembang setiap mau tidur karena aku membayangkan sesuatu yang tidak aku miliki di dunia nyata. I felt giddy. Terutama dulu saat memikirkan bagaimana rasanya jika kami berciuman.

Namun, yang aku rasakan minggu lalu justru lebih ke arah panik. Jauh dari apa yang aku bayangkan dulu. Tidak ada gelembung-gelembung yang meledak di perutku, atau aliran listrik di tempat Amos menyentuhku. Aku hanya panik. Kepalaku langsung memikirkan risiko yang akan terjadi jika ini tidak berjalan sesuai bayanganku. Aku benar-benar akan kehilangan Amos sebagai sahabatku lagi.

Yang pertama saja aku sudah susah, apalagi jika terjadi kedua kalinya?

Aku menggelengkan kepala. Saat kepalaku sedang dipenuhi hal tidak jelas yang hanya akan terjawab jika aku bertanya ke orangnya, aku lebih baik melakukan hal lain untuk mengalihkan pikiran. Mataku berhenti di kotak Lego yang beberapa tahun terakhir teronggok di bagian atas lemari kaca kamarku. Debu memenuhi setiap sisi dan terkadang aku melupakan keberadaannya, tapi saat rinduku terlalu berat untuk aku abaikan, aku akan kembali ke kotak ini.

Kakiku langsung melangkah ke sana dan mengambilnya.

"Jaja Miharja, lo decent?"

Tidak ada orang lain yang memanggilku dengan panggilan itu, pun tidak ada laki-laki di rumah ini. Jadi, orang di depan pintuku yang mengetuk tiga kali sudah pasti Amos.

"Enggak. Telanjang," jawabku asal. Sedikit kesal juga karena aku merasa seperti orang yang baru saja di-ghosting.

Pintu kamarku terbuka dan kepala Amos muncul dari sela-selanya sedangkan tubuhnya masih tersembunyi di balik pintu. "Mana? Kok pakai baju?"

Aku membuang napas dan memutar bola mata. Sehabis berbicara hati ke hati dengan Rei, aku tidak bisa menanggapi sifat antik Amos. "Ngapain lo di sini? Nggak ada barang Lio dan Ara yang ketinggalan di sini. Kalau pun ada, lo tanya aja ke Rei. Dia yang suka simpenin."

Amos menyelipkan tubuhnya melalui pintu. "Gue masuk, ya."

"Orang mah tanya dulu baru masuk. Eh, lo demit ya, bukan orang."

Dia mengabaikanku dan duduk di karpet dekat kaki ranjang. "Lo lagi ngapain? Lego baru?" Mengusir Amos yang sudah menyamankan dirinya dengan bantal di kepala dan komikku yang tergeletak di lantai sangat tidak mungkin. "Eh, Lego yang kemarin beli udah jadi," katanya pelan.

"Bukan. Ini dari bokap dulu. Bokap waktu dirawat, tapi datangnya setelah meninggal." Sebelum meninggal pun ayahku sempat menanyakan koleksi legoku karena beliau akan membelinya melalui marketplace—beliau pamer kalau sudah bisa menggunakannya untuk berbelanja. Paket lego itu datang setelah beliau tidak ada dan aku belum ada hati untuk membongkarnya. "Padahal janjinya dulu mau rakit bareng setelah keluar dari rumah sakit," imbuhku lebih untuk diriku sendiri.

"Gue balik aja, supaya lo bisa rakit itu."

"No. Stay here. Temenin gue ngerakit aja." Kali ini hatiku yang memegang kendali dari mulutku. "Ada yang mau lo omongin juga, kan?" Aku membawa kotak itu dan meletakannya di atas karpet. Membuka plastiknya setelah Amos mengambil lima kotak transparan yang memang aku persiapkan khusus untuk merakit Lego. Supaya tidak ada yang hilang.

Aku membaca buku panduan kecil dan mulai mengikuti dari langkah pertama. Amos menyerahkan lego selanjutnya sesuai dengan buku.

"Ada apaan?" Aku memecah bungkam di antara kami. Kalau aku mau mendengar dia bilang minggu lalu karena terbawa suasana dan minta maaf setelahnya, aku lebih baik mendengarnya sekarang. Sekalian meluapkan perasaan yang muncul nanti dengan merakit Lego agar aku tidak perlu membeli lagi. Hemat.Sekali mendayung, sakit hati dan obatnya langsung dapat.

Amos duduk bersila di sebelahku. Buku panduan berada di antara kami dan kotak-kotak kecil berjejer rapi di hadapannya. Di depanku ada papan yang aku gunakan untuk memasang kepingan kecil agar tidak menyelip di karpet.

Amos terlalu lama menjawab hingga fokusku terbagi tiga; pertama sibuk merakit, kedua sibuk memasang telinga, ketiga sibuk menenangkan jantungku yang sudah lari maraton di dalam rongga dada. Jantungku tampaknya belum selesai menyiapkan diri saat Amos mulai berbicara.

"Gue minggu lalu mau cium lo."


5/10/23

Silakan overthinking dengan gantungan bajunya wkwkw

Oh, kurang dari 9 part lagi ini tamat. Seperti biasa, ada target bintang dan komen untuk setiap part. Masing2 part 3.2K bintang dan 1.2K komen supaya bisa baca lanjutannya gratis di WP. Buat yang mau baca lebih dulu ada di Karyakarsa Dadodado dan hanya dapat dibeli paket. Gratisan aja yuk di WP, caranya dengan tinggalin jejak di tiap bab dan share cerita ini ke temen-temen kamu supaya target per part sampai.

Ketemu lagi sama Jaja dan Momo kalau udah banyak komen n bintangnya yess. Aku mau nulis Rent a Date dulu :)

 Aku mau nulis Rent a Date dulu :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang