Six Ways To Sunday - SI Tukang Marah-marah 5.2

10.1K 1.3K 37
                                    



Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


Terlebih, aku bukan tipe yang dapat menahan lidahku, yang kata Rei, lebih tajam dari pedang.

Bahu kecil Liora yang dibalut kaos berwarna pink gonjreng bergetar dan suara isakannya terdengar poten di telingaku. Jari-jari kecilnya menggenggam celana pendek dengan erat. Kepalanya yang menunduk membuatku tidak dapat melihat wajahnya, tapi apa yang aku lihat cukup membuatku tahu kalau bocah ini tengah menahan tangisan, tapi gagal.

Mataku beralih dari Liora ke papanya yang kini sudah mengeratkan rahang dan menatapku tajam. Bah, dia kira aku takut apa? Jadi, yang aku lakukan untuk menantang cowok itu adalah menatapnya balik. Sama tajamnya dan tanpa berkedip meskipun mataku perih dan leherku pegal. Amos bertubuh tinggi, biarpun untuk ukuran perempuan aku cukup tinggi, 170 senti, tapi mantan sahabat masa kecilku ini setidaknya lebih tinggi 15 senti dariku.

Tidak ada di antara kami yang bersuara, sehingga isakan Liora dan Adara menggaung semakin jelas mengisi kekosongan di antara kami yang rasanya berjam-jam terjadi. Padahal dua menit saja juga tidak sampai.

"Mau pulang," ujar Liora di sela-sela tangisannya yang memutus perang sengit tatapanku dan Amos.

Mataku kini terjatuh ke asal suara sengau bocah itu dan aku masih tidak dapat melihat wajahnya lantaran Liora masih setia menatap jari-jari kakinya yang kini sudah bercat pink, hasil kerajinan siang tadi; merecoki alat melenong milik Rei. Dari sudut mataku, aku masih dapat melihat Amos yang menatap tajam padaku, masih dengan rahangnya yang mengetat.

Amos mengembuskan napas perlahan melalui mulutnya lalu memegang tangan Liora. "Ayo. Papa beli KFC sebelum pulang tadi."

Liora mengelap wajahnya dengan punggung tangan lalu menganguk. Tepat sebelum mereka berbalik, aku kembali membuka mulut.

"Liora, terima kasihnya mana?"

Sebenarnya kalimat itu aku tujukan untuk menyindir bapaknya. Bukannya berterima kasih anaknya sudah kujaga selama beberapa jam, malah memelototiku. Dasar tidak tahu untung.

Mata bulat Liora yang tergenang air mengerjap sekali, "Terima kasih udah jaga aku dan Ara, Tante Jaja."

Aku tersenyum puas ke arah bocah itu lalu mengangkat satu alis ke bapaknya yang bergeming dengan wajah memerah. Entah malu atau kesalnya sudah ke ubun-ubun terhadapku yang tidak hanya but in ke urusan mengajari anaknya, tapi juga mengajari cara berterima kasih. Toh, yang ingin aku ajari bukan anaknya, melainkan bapaknya. Apa aku peduli? Tentu saja tidak. Aku hanya mau merasa di atas awan dan juga membuat Amos kesal bukan kepalang.

Satu helaan napas, kali ini lebih panjang dari sebelumnya, keluar dari sela-sela bibir dan gigi Amos yang masih terkatup.

"Terima kasih."

Aku menarik bibir ke bawah untuk menyamarkan senyum kemenangan yang mengancam keluar dan menganggukkan kepala tiga kali. Tiga orang itu membalikkan badan dan mengambil satu langkah dan aku menutup pintu rumah. Aku lapar dan perlu mandi. Makan siangku hambar karena tidak bisa menikmati makanannya, dan aku mau makan besar malam ini.

Mataku berhenti pada tas berwarna pink dan tas bergambar kumbang yang ada di atas sofa dan kakiku berhenti bergerak. Tas punya Liora dan Adara tertinggal karena tadi mereka pergi terburu-buru. Aku melongok ke arah kamar mandi lalu menemukan pakaian kotor mereka juga masih tertinggal di sana. Aku membuang napas kasar dan memutuskan untuk mengembalikannya esok hari saja. Aku tidak mau bertemu dengan Amos lagi malam ini. Tidak sudi.

Jari-jariku bergerak di atas layar ponsel, menanyakan keberadaan Rei lalu mandi secepat kilat agar dapat memesan makan malam. Perutku sudah riuh berdemo dan ide untuk makan malam nasi goreng kambing saat mandi tadi aku realisasikan secepat kilat.

"Ojaaa, anak orang masih bernapas, kan?" teriakan itu datang bersamaan dengan pintu yang terbuka, memperlihatkan wajah Rei dengan rambutnya yang sudah diikat setengah. Beberapa helai jatuh ke wajah putihnya yang dihiasi riasan anti badai. Masih on point semenjak pagi tadi dia pergi.

"Masih. Dijemput bapaknya nggak sampai setengah jam yang lalu," jawabku sambil mengambil dua buah piring dan peralatan makan.

Suara benda yang menabrak lantai terdengar hingga aku menoleh. Tas bahu Rei sudah mendarat di lantai, mungkin seperti mulutnya yang juga terbuka lebar jika di kartun-kartun. "Bapaknya tadi ke sini? Terus gimana? Gue melewatkan pertemuan kalian setelah sekian lama? Gue nggak percaya kalau gue bisa-bisanya nggak ada di sana waktu itu terjadi," celotehnya dengan kedua tangan menutup wajah secara dramatis.

"Apaan, sih? Dia cuma jemput anak-anaknya. Nggak sampai lima menit juga di depan rumah."

"Lima menit itu lumayan lama! Cepet cerita kalian ngapain aja selema lima menit? Ada pertemuan yang mengharu biru atau lo confess your undying love ke dia?" Rei terdiam selama lima detik penuh lalu kembali membuka mulut ceriwisnya, "Tadi lo bilang anak-anak? Jadi bukan cuma Lio aja? Tepatnya dia punya berapa anak?" Wajahnya kini seperti sehabis melihat setan di film horor; matanya terbelalak bercampur ngeri yang mengisi seluruh jengkah wajahnya.

Aku melempar sendok yang tepat mengenai perut Rei. Dia pura-pura mengaduh lalu kembali fokus pada pertanyaan tidak penting yang tadi dilontarkannya. Aku memberikan ekspresi jijik terbaikku pada sahabatku itu.

"Dua. Nggak ada satu pun yang lo sebutin barusan. Kita pelototan dan mendam emosi."

Rei melesat menuju kursi di meja makan dan duduk di sana. Jari-jarinya bertautan dan memangku wajahnya yang menatapku fokus. "That's getting better. Cepet cerita."

30/12/22

Rei be lyke: aku cinta keributan

Rei be lyke: aku cinta keributan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang