Six Ways To Sunday - Tetangga Sebelah Rumah 2.2

13.6K 1.4K 31
                                    


Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


Mendapatkan bantuan sepasang tangan lagi tidak mungkin ditolak oleh Bou. Toh, Rei bukan orang yang baru dikenalnya. Aku sudah sering membawa sahabatku itu ke rumah dan mereka bertemu secara tidak sengaja di berbagai kesempatan dan Rei, sebagai orang yang tidak mungkin menolak makanan gratis setiap mama dari Amos itu menawarkan, akan dengan senang hati mampir ke rumahnya.

Aku duduk di lantai yang kini sudah bersih dari debu. Pakaianku jauh lebih kotor ketimbang ketika datang tiga jam yang lalu. Bou memberikan kain putih ke setiap permukaan furnitur sehingga mengelap permukaannya bukan suatu masalah besar, yang jadi masalahnya adalah debu di kusen yang sudah menumpuk. Tidak mungkin kan aku membiarkan orang tua itu menaiki tangga dan membersihkannya? Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, aku dan Rei yang membersihkan permukaan tinggi. Itu juga debu dengan usia tahunan yang menempel di tubuh kami.

Rei melongok ke dari ruang keluarga, memastikan tidak ada tuan rumah yang akan mendengar pembicaraan kami. "Lo kenapa geret gue ke sini, sih? Gue baru balik pagi juga," cerocosnya seraya menendang kakiku yang terjulur.

"Lo tidur di tempat Karin, kan? Itu berarti lo nggak ngapa-ngapain setelah ajojing semalam, itu juga berarti lo bisa bantuin gue di sini." Kedua tangan yang tadinya menyanggah tubuhku kini beralih fungsi menjadi bantalan kepala ketika aku ikutan rebah di lantai yang kinclong. Suhu tubuh yang panas terasa sangat nyaman ketika bertemu dengan dinginnya lantai. Aku tidak sabar untuk segera pulang dan mandi. Menggosok debu yang aku yakini tebal di kulit, lalu tidur nyenyak setelahnya.

"Karin ember banget, sih."

"Makanya pulang lo. Ganggu orang aja. Itu dia mau ngebungkus orang jadi nggak bisa karena lo nggak laku," ejekku. Aku tidak suka menggunakan dua istilah tadi, tapi ini pembalasan yang tepat mengingat semalam Rei mengatakan bahwa aku tidak laku. Aku menutup mata. Menikmati kemenangan kecil dengan senyum tipis tersungging di bibir. "Lo nggak dapet yang ganteng emangnya di sana?"

"Enggak. Baru gue tinggal sebentar aja dia lirik-lirikan sama cewek lain."

"Kan? Gue bilang juga apa. Cowok baik itu rata-rata sudah diembat sama cewek lain. Atau sama cowok lain."

Rei terpaksa menyetujui ucapanku, "Bener."

"Makanya kita bikin kelompok aja. Kelompok selibat sampai mati," godaku, "single-foerever-and-ever cult." Aku mengangkat tangan. Membicarakan hal ini seakan-akan itu adalah surga.

"Gue nggak mau ikutan cult lo. Gue masih mau mencoba varian lainnya di luar sana." Rei mengikutiku, berbaring di lantai dengan langit-langit bersih dari sarang laba-laba. Kakinya kembali menendang kakiku, yang kubalas langsung. Kami diam cukup lama sambil mengatur napas yang pendek-pendek. Sungguh, deh. Semakin tua usia, semakin pendek juga napas kami. "Lo lama kan nggak main ke sini?"

Mataku terbuka mendengar pertanyaan itu, tapi aku menanggapi yang pertama agar tidak terlalu kentara atau kalau boleh berharap, agar Rei tidak lanjut membahasnya. "Lo pikir cowok itu obat batuk rasa jeruk?"

"Lo nggak tahu kalau ada juga rasa duren? Makanya main-main keluar, jangan sama solder doang." Rei lalu mendengkus, "Jangan alihin pembicaraan."

"Ya lama. Masa gue masuk ke rumah orang yang kosong. Dikira maling sama satpam."

"Terus aja berlagak bego," cibir Rei yang aku abaikan dengan sepenuh hati. Jika bukan karena Bou, aku tidak akan datang ke sini secara sukarela. Terlalu banyak kenangan yang membuatku getir ketika berada di sini.

Aku tidak dapat berhenti mengucap syukur ketika Mama merencanakan pulang kampung dan Bou juga ikut. Berarti tidak ada alasan lagi untuk datang ke rumah sebelah karena tidak mungkin menolak ajakan makan bersama dengan alasan kalau tetanggaku itu merasa kesepian. Kedua anak Bou sudah tidak lagi tinggal di sana. Keduanya menikah dan memiliki keluarga dan rumahnya sendiri, jadi perempuan tua dan kesepian itu bersekutu dengan Mama untuk merecoki hidupku.

"Tante ngapain balik ke sini? Gue kira beliau nggak bisa hidup tanpa nyokap lo."

"Entah. Gue juga kira gitu. Mungkin Bang Bona perlu bantuan." Aku menyebutkan nama anak laki-laki pertama dari Bou yang juga sudah menikah. Itu hanya memperkuat argumenku bahwa cowok baik-baik sudah laku dan hidup bahagia dengan keluarga di rumah mungil yang berisikan mainan anak-anak.

"Lo belum nanyain?"

Seroja menggeleng. "Gue cuma nanya nginep di mana dan dibilang di sini, terus pembicaraan soal..." Kedua tanganku terangkat, menunjukkan ruangan tempat kami tiduran, "dan kita berakhir di sini kayak sekarang dengan perut kelaparan."

"Kalian makan di sini, kan?" tanya si empunya rumah yang berdiri di daun pintu kamar, Bou menahbiskan diri untuk membersihkan setiap kamar.

"Iya, Bou. Nggak sanggup buat masak lagi," jawabku. Sedikit bercanda, banyak seriusnya. Setiap ototku menolak untuk bekerja selain untuk mengangkat diriku sendiri. Seperti Mama yang jago memasak, Bou juga memiliki kemampuan yang sama. Kami, aku dan juga Rei, tidak mau melewatkan masakan rumahan.

Aku mengangkat satu alis. Sebentar ... kayaknya ada yang salah, kataku dalam hati. "Kan Bou belum beli gas. Mau aku pesanin?

"Nggak usah, Amos dan keluarganya bakalan datang sebentar lagi. Bou sudah bilang kamu dan Rei ada di sini, jadi makanan ada banyak." Bou mengibaskan tangannya dan kembali masuk ke dalam kamar, meninggalkan aku dan Rei yang bengong lalu berpandangan dalam diam yang pekat selama tiga kedipan mata. Mungkin dengan tambahan jantungku yang kini sudah terjun bebas ke perut.

Tidak ada satu pun yang berbicara, seakan menunggu yang lainnya untuk mulai membuka mulut hingga akhirnya aku yang mengalah karena tidak mau membuang waktu lebih banyak. "Lo berpikir yang sama dengan yang ada di kepala gue nggak?"

"Kalau yang ada di dalam kepala lo itu cara untuk kabur dari sini dengan bilang ada kerjaan; berarti iya."

Detik selanjutnya kami berdua berlomba untuk berdiri dan berhamburan ke pintu depan sambil meneriakkan "Bou, aku pergi dulu. Lupa banget ada kerjaan." Hanya untuk berhenti di depan pagar yang sudah di halangi oleh mobil.

Kaca di belakang pengemudi pun terbuka. Dengan rambut panjang yang diikat tinggi di atas kepala dan mata yang mengerling mempertontonkan kenakalan si empunya. Aku mengenal mata itu di luar kepala, tapi pemiliknya berbeda dari yang aku kenal selama bertahun-tahun. Soalnya tidak mungkin Amos diikat di carseat.

Cengiran lebar menghiasi wajah di dalam mobil, lalu terdengar suara cempreng yang baru pertama kali memasuki telingku. Terakhir kali aku mendengarnya, kala itu pemilik mata ini tengah meraung.

"Halo!"

10/11/22

Eaaa Jaja Miharja ketemu Momo dan keluarganya wkwkwk

Eaaa Jaja Miharja ketemu Momo dan keluarganya wkwkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang