Six Ways To Sunday - Si Tukang Marah-marah 5.3

10.5K 1.2K 92
                                    



Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


"Apanya yang mesti diceritain, sih?"

Rei menuangkan jus ke gelas yang sudah berada di meja makan, lalu menghabiskannya dalam beberapa kali teguk. Embun-embun mulai muncul di gelas, aku mengambil coaster dari kaca yang menjadi prototipe buatan kami di awal-awal usaha ini dan meletakkannya di bawah gelas. Aku bercerita mengenai pertemuanku dengan Amos dan mengakhirinya dengan kalimat ini, "Nggak ada yang bisa lo jadiin bahan ejekan, kan?"

Rei berpikir keras hingga aku dapat mendengar roda di dalam kepalanya berputar. Dia lalu menarik napas pendek sekali dan berbicara, "Ini di luar perkiraan gue. You used to beam like a lunatic every time you see him. Or he will act goofy." Rei menepuk-nepuk permukaan meja dengan cepat seakan tengah mencoba mengingat sesuatu dan baru berhenti ketika mendapatkannya dan berteriak lantang. "That stupid hip bump!" Telunjuknya kini tertuju ke arahku. "Yang biasa kalian lakuin kalau ketemu itu."

Kalimat itu melemparkanku pada masa lalu yang rasanya baru kemarin terjadi. Kami—aku dan Amos— memiliki tos yang sedikit berbeda dari orang lain. Alih-alih menggunakan tangan, kami menabrakkan pinggul. Itu adalah kebiasaan konyol Amos sewaktu kecil dan terbawa hinga kami dewasa. Dan aku, si konyol yang jatuh cinta ke sahabat sendiri, dengan senang hati melakukannya karena lagi-lagi aku merasa spesial pakai telor karena berbeda. Looking back, mungkin mataku memainkan ilusi karena tertutup dengan tanda cinta yang aku lemparkan ke Amos tanpa henti, hingga tidak bisa melihat kalau bagi Amos, aku tidak berbeda dengan teman-temannya yang lain hanya karena kami lebih lama bersama.

"Terus, gimana rasanya habisin waktu sama dua anaknya?"

Aku mengalihkan pandangan ke makanan yang ada di piringku. Tahu kalau aku belum menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaannya barusan, Rei kembali berbicara.

"Lo bukannya akrab banget juga sama bocah, but you look adamant to not be near her."

"What do you want me to do? Nyokapnya itu Anya, orang yang ke mana-mana bareng sama kita terus, orang yang gue ceritain hal-hal yang sama kayak ke lo, orang yang jelas-jelas tahu kalau gue punya perasaan sama Amos."

Anya dan Rei adalah orang yang aku temui pertama kali ketika masuk kuliah. Kami seperti tiga serangkai yang tidak terpisahkan karena bersama-sama setiap hari, jika kelas kami tidak sedang sama pun, kami akan menunggu satu sama lain di kantin. Amos tidak satu jurusan denganku, karena itu aku tidak bisa menempelinya seperti ketika SD-SMA. Hal baiknya, itu memaksaku untuk melebarkan pergaulanku di luar Amos. Sisi buruknya, justru aku yang mempersembahkan cewek lain di dengan tanganku sendiri untuk dibawa Amos ke pelaminan.

Aku rasa Tuhan lebih dulu ingin mempersiapkanku sebelum mematahkan hatiku, karena Rei ada di sana saat semuanya terjadi. Aku bersyukur, tapi tidak mau mengatakannya di depan Rei karena tidak mau dia besar kepala. Kepalanya sekarang sudah cukup besar dan hampir tidak muat lagi di pintu.

"Tapi Amos punya perasaannya sama Anya, jadi lo nggak bisa salahin dia." Kalimat itu seperti tamparan keras di wajahku. Aku benci dan mencintai Rei di saat yang bersamaan karena apa yang keluar dari mulutnya bisa seperti madu dan racun. "It's not like they betrayed you, though. Love is inevitable."

"Ya, memang enggak. Tapi bukan berarti gue nggak bisa berpikir kayak gitu. I trust her with my stories, and I trust him with my heart," bisikku setelah memajukan bibir bawah. Sesuatu meremat hatiku dann aku tidak mau memperlihatkannya. But my trembled voice giveaway everything. Traitor.

Rei menyendokkan nasi goreng kambing dari tempat langganan kami. Dia melenguh sekilas untuk mengapresiasi rasanya lalu kembali dengan wejangan. "Lo harusnya belajar dari pengalaman orang-orang; jangan kasih deket sahabat ke gebetan lo. Yang udah-udah, yang jadian ya mereka."

"Kalau lo yang deketin Amos gimana ya, Rei?" Aku mengetuk-ngetuk permukaan meja makan. "Gue lebih ikhlas kalau Amos sama Anya dibanding sama lo, sih."

"Pastilah lo nggak mau gue sama Amos. Soalnya Anya kabur sama cowok yang dia kenal di gym, kalau sama gue, lo nggak bakalan punya kesempatan sama Amos."

Aku mengerang karena diingatkan kembali kenapa Anya tidak berada dalam gambaran keluarga Amos lagi. Mantan sahabatku itu kabur dengan cowok lain. Hanya itu yang aku tahu karena hanya sebatas itu yang aku izinkan Rei untuk ceritakan jika tidak ingin aku melemparnya keluar dari rumah. Setelah itu, Rei selalu menganggap Anya sudah mati dan menggambarkan kebencian yang cukup untuk kami berdua.

Aku tidak membenci Anya sebelumnya, tapi setelah mendengar kalau dia kabur dan meninggalkan suami serta anaknya, aku sudah pasti membencinya saat itu. Karena saat dia menikahi Amos, aku tahu kalau dia hanya merebut angan-anganku, tapi saat dia meninggalkan Amos untuk cowok lain, dia merebut kebahagiaan orang lain.

Rei sudah menghabiskan setengah porsi nasi gorengnya, tapi aku baru memasukkan suapan pertama ke mulut. "Kalau sama lo, Amos harus pusingin cewek juga, bukan cuma cowok," kataku di tengah kunyahan yang membuat Rei mengangguk-angguk.

"Bener juga," gumamnya, "tapi gue nggak bakalan selingkuhin dia, sih. Mungkin gue ajak open marriage. Terus lo bisa join deh jadi partner dia."

Aku memandang ngeri ke arah Rei. "You have a messed-up scenario in your head." Dia tertawa mendengar hal itu.

"You have to taste every flavor while you can," ucapnya masih dengan tawa. "Anyway, gue nggak ngerasa Lio pantes terima kekesalan lo ke Anya. She is just a kid."

"I know." Aku mengulangnya berkali-kali untuk memastikan Rei bahwa aku paham, padahal aku tidak memiliki niat untuk melakukannya. I will draw a straight line. Kalau Tembok rumah saja tidak cukup, aku akan membangun benteng tak kasat mata sekalian.

3/1/23 

jeng jeng. ni yang nanyain ke mana emaknya Lio

 ni yang nanyain ke mana emaknya Lio

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang