Six Ways To Sunday - Seroja 1.2

19.4K 1.5K 44
                                    



Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟

Satu geplakan mendarat di kepala Rei dengan mulus. "Lo pikir gue barang pakai acara digelar? Lagian, kenapa lo ributin kehidupan percintaan gue, sih? Kayak lo bagus aja," cibirku yang dibalas dengan dengusan oleh Rei.

"Seengaknya gue masih go get lucky dan keluar ketemu orang-orang."

"Lo kan tahu kalau gue itu pemilih banget orangnya."

Rei tidak perlu waktu lama untuk membalas ucapan Seroja, "Pemilih atau nggak laku emang susah buat dibedainnya." Rei mengelus kepala yang tadi dipukul olehku. "Lo mah jatuhnya ke demografi nggak laku, bukannya pemilih. Kalau lo yang pertama, ponsel lo nggak bakalan berhenti buat bunyi-bunyi, atau lo bakalan sibuk nolakin orang-orang."

Aku menggeleng, tidak tahu kenapa bisa bersahabat lama dengan perempuan yang mulutnya lebih tajam dibandingkan pisau bermata dua. Namun, dalam hati aku tahu kalau apa yang dikatakan oleh Rei benar. Aku sama sekali tidak masuk ke dalam demografi pemilih lantaran terakhir memiliki kontak dengan cowok yang bukan klien ... kepalaku kosong seketika. Aku tidak ingat kapan bertemu cowok yang tidak ada hubungan darah atau hubungan profesional.

Aku tidak seperti Rei yang mudah berkawan. Aku lebih sering melihat dulu sebelum menyesuaikan diri dengan sifat dan sikap seperti apa yang harus dilakukan. Semuanya berbeda tergantung dengan siapa aku berbicara. As years gone by, I feels exhausted. Energiku tidak lagi sebanyak dulu untuk bersosialisasi dengan orang baru, apalagi membiarkan mereka memasuki teritoriku dengan mudah. Jadi yang tersisa selain keluarga hanyalah Rei.

"Lo harus keluar rumah," putus Rei lagi saat Seroja tidak juga menyahuti ucapannya, "lo nggak bisa temanan sama soldering iron doang setiap hari. Dunia terlalu luas buat lo diam di tempat doang. Figuratively and literally."

Satu helaan napas panjang keluar dari bibirku. "Lo ingat nggak baru beberapa bulan kemarin gue keluar sama orang dari aplikasi kencan yang lo bikin juga?" Lebih tepatnya tiga bulan lalu aku harus bertemu dengan cowok yang aku ajak bicara selama dua minggu di aplikasi itu. "Lo ingat kan gimana kalau cowok-cowok di sana lebih milih buat seks ketimbang punya hubungan?" Punggungku menyandar di kursi dan matanya menatap tajam pada Rei yang tampaknya tengah mengingat sesuatu lalu menyengih.

Bencana yang terjadi tiga bulan lalu itu adalah ide dari Rei yang sudah lelah melihatku di dalam rumah terus menerus dan melakukan penipuan akun. Menggunakan data diriku untuk membuat akun di aplikasi kencan dan mengobrol dengan para cowok potensial. Yang paling membuat mulut mulutku jatuh ke lantai dan bola matanya menggelinding adalah bionya yang tertulis "suka yang besar and I have no gag reflex".

"Lo nggak punya gag reflex memangnya?"

Aku melotot mendengar hal yang keluar dari Rei setelah kami membahas hal pentingnya. Mengingatkanku akan hal pertama yang ditanyakan cowok yang akhirnya ditemui itu. Pertanyaan yang sama persis. "Bukan itu inti dari pembicaraan ini, Rei!" teriakku gemas. Tanganku gatal ingin menjambak perempuan itu, tapi aku tahu kalau aku tidak dapat menyaingi kekuatan sahabatku yang rajin ngegym. Tidak seperti tubuhku yang hanya tulang dilapisi kulit, Rei sangat bugar.

"Ya emang bukan, tapi kan nggak ada gunanya bahas hal yang sudah berlalu," Rei menganggukkan kepala dan menepuk bahuku pelan seperti orang tua bijak yang tengah memberikan wejangan pada anaknya. "Yang sekarang harus dibahas itu masalah lo yang belum juga punya pacar di usia yang bentar lagi kepala tiga. Lo tahu nggak nyokap lo sesering apa telpon gue dan nanyain gimana nasib percintaan lo? Mau gue ulangin beliau bilang apa? Nih," Rei berdeham, "'Amang tahe, gimana pula boruku itu belum juga punya pacar? Macam manalah dia itu nanti, Rei.'" Logat batak digunakan oleh Rei ketika mengucapkan kalimat tadi.

Tawa yang tidak dapat ditahan keluar dari bibirku tanpa dapat ditahannya. Rei yang selalu berusaha mengikuti logat Mama itu terlalu lucu untuk tidak ditertawakan. "Terus lo bilang apa?"

"Lo mau gue bilang apaan lagi memangnya selain cuma mangut-mangut? Nyokap lo sudah ngelist nama pariban dari yang paling dekat sampai yang paling jauh buat lo temuin. Lo pilih deh, mau ketemuan sama mereka atau cari pacar sendiri." Rei melipat tangannya di dada, pinggulnya menyender pada meja tempatku bekerja. Meja yang kini menjadi tempat jidatku bersandar sambil mengerang dalam. "Nyokap lo dalam misi buat temuin jodoh lo," sambung Rei yang membuatku membenturkan dahi lagi ke meja.

"Nyokap mau apaan lagi, sih?"

"Lo anak satu-satunya, Jaja Miharja," ucapnya Rei gemas yang langsung kubalas.

"Jangan panggil gue itu, deh."

Rei memajukan bibir bawahnya dan menantang balik pada nada ketusku. "Kenapa? Soalnya gue bukan Momo kesayangan lo itu?"

Aku mengalihkan pandangan hingga kini pipiku yang menempel pada permukaan meja. Panggilan yang sudah lama tidak pernah kudengar itu membangkitkan ingatan masa lalu dengan Amos yang selalu mengejekku dengan nama pelawak jaman dulu. Nyeri yang bermula dari dada merayap ke seluruh permukaan kulit dan menggigitku di mana-mana dengan rindu yang hanya membangkitkan rasa bersalah. Pikiranku dibajak oleh masa lalu yang tidak ingin aku kunjungi lagi. Demi menarik otakku dari masa lalu, aku fokus pada pembicaraan dan Rei.

"Nggak usah omongin masalah gue, deh. Lo juga nggak punya pacar, hobinya test drive doang." Jika ada yang mendengar obrolan kami, sudah pasti orang-orang itu akan tersedak bola golf. Pembicaraan kami tanpa saringan dan sangat tidak mengenal batasan apa yang boleh dibicarakan dan apa yang tidak. Ini yang membuatku betah bersama Rei, karena aku tidak perlu berpura-pura dan menggunakan otaknya terlalu lama. Aku bisa menjadi diriku sendiri, sedangkan Rei bisa menjadi si berengsek-yang-tidak-memiliki-batasan dalam persahabatan kami. Sempurna.

"Gue nggak punya nyokap yang rusuhin gue buat nikah, sih."

Aku dapat membayangkan wajah sombong Rei ketika mengatakannya. "Gue nggak bisa balas yang satu itu.."

Ibu Rei meninggal ketika ia kecil dan sahabatku itu selalu menggunakan kartu sebagai anak piatu kita sedang tersudut atau malas melanjutkan pembicaraan. Kartu sialan itu kini dimainkannya dengan sempurna seperti biasa.

Tawa mengudara di belakang kepalaku. "Makanya gue bilang itu, soalnya gue masih harus ketemuan sama orang lain setelah pembicaraan kita ini selesai. Dan karena sudah, gue harus pergi dulu. Lo coba pikirin bio apa yang menarik orang-orang buat swipe right di akun lo." Rei melangkah menuju pintu, "Misalnya; I like going comando, atau my bra cup DD, atau I like grande size D."

Aku melempar cushion kursi yang hanya menabrak pintu dan jatuh tergeletak dengan mengenaskan di lantai, sementara suara tawa Rei membahana di luar ruang kerja kami. 

24/10/22

wkwkwk Jaja Miharja, apaan tuh *sebelah mata kedip*

wkwkwk Jaja Miharja, apaan tuh *sebelah mata kedip*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang