Six Ways To Sunday - Lio Si Cerewet 6.1

10.3K 1.2K 62
                                    



Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


Waktu bekerja favoritku adalah malam hari. Meskipun aku tinggal di perumahan, jalanannya selalu ramai dengan lalu lalang mobil. Itu sedikit mengganggu konsentrasiku karena ruang kerja berada di atas yang mengarah ke jalanan. Bekas kamarku dulu. Jendela selalu kubuka agar ada perputaran udara dan membantu mengurangi tagihan listrik kami. Jadi, bekerja di saat matahari berada tinggi di langit sangat sulit tanpa konsentrasi yang tinggi.

Hari ini pun aku bekerja di malam hari, tapi karena alasan yang berbeda. Salah satu pemilik rumah tua menghubungi kami untuk menjual stained glass, karena ternyata mereka akan merenovasi total. Aku dan Rei mendatangi rumah itu siang hari untuk mengecek keadaannya.

Stained glass atau kaca patri biasanya ada di dalam gereja atau keraton, tapi tidak jarang rumah-rumah jaman dulu memilikinya. Jendela besar dengan stained glass berwarna-warni yang membentuk suatu gambar. Ini lebih mirip seperti karya seni sebenarnya. Cahaya matahari yang menembusnya memberikan siluet cahaya yang sangat indah saat jatuh di lantai atau dinding, terutama jika ruangan itu gelap.

Dan rumah yang kami datangi siang tadi jelas memiliki kaca yang sangat indah. Satu kaca besar yang memenuhi dinding hingga ke plafon lantai dua, kurang lebih empat meter dengan lebar dua meter. Tepat menghadap matahari terbenam, sehingga seluruh cahaya itu mengiluminasi tangga yang tepat berada di sebelahnya.

Jendela besar itu dibagi delapan, dengan gambar yang berbeda-beda. Ada frame dari kaca dengan ukiran indah, berwarna emas. Memisahkan bagian dalamnya yang berwarna putih. Itu untuk bagian empat bawah. Sementara atasnya penuh dengan warna-warna terang dengan gambar malaikat kecil memegang trompet di tengahnya. Seperti malaikat itu tengah berada di dalam surga dan menyanyikan puji-pujian.

Ini indah dan tidak berhenti membuatku takjub. Keterampilan pembuatnya sangat diuji ketika membuat karya seni ini menjadi benda yang fungsional seperti jendela.

Aku ingat saat pertama kali aku jatuh cinta pada stained glass. Kali pertama aku melihatnya adalah saat mengunjungi museum Bank Indonesia. Stained glass yang berada di tangga dan memenuhi satu sisi tembok sangat indah saat terkena cahaya. Aku hanya diam di sana untuk waktu yang lama dan memandangi karya seni itu hingga Papa menarik tanganku.

Setelah nego harga dengan pemiliknya, aku dan Rei pulang. Kami berencana kembali di akhir pekan agar dapat mempersiapkan bahannya. Untuk kaca tadi, aku tidak tahu apakah aku mampu untuk mengolahnya menjadi benda lain.

"Gue kayaknya nggak tega potong-potong kaca tadi," ucap Rei seperti tengah membaca pikiranku.

Aku meletakkan soldering iron-ku, "Gue juga lagi mikirin itu. Tapi bingung juga mau pasang di mana. Kita masih punya dua stained glass dari rumah lawas lain," kataku. Kami juga memiliki dua kaca lain di kamar asisten rumah tangga yang sudah kami sulap jadi tempat penyimpanan karya-karya kami. Stained glass di sana juga tidak kalah indah hingga kami tidak tega memotongnya.

Kaca-kaca lawas ini biasanya kami olah lagi menjadi karya baru. Entah perhiasan, coaster, hiasan dinding berbentuk inisial nama atau pajangan di atas nakas. Yang sekarang sedang banyak dipesan dream catcher, karya terbaru yang baru yang kami pasarkan bulan lalu. Gantungkan dream catcher kami di dekat jendela saat siang hari, maka kalian akan mendapatkan warna-warna indah yang terpantul di dinding atau lantai.

Untuk jendela yang kami simpan, kami akan restorasi hingga menjadi seperti baru, tanpa mengubahnya.

Dibanding membuat dream catcher kami dengan untaian benang di bawahnya, kami juga menggunakan stained glas berbentuk persegi panjang yang menjuntai indah. Menambah banyak warna-warna yang akan teriluminasi saat terkena cahaya. Untuk ini kami melakukan banyak uji coba agar kacanya tidak pecah saat terantuk satu sama lain ketika tertiup angin. Saat melihat hasilnya, aku dan Rei tersenyum puas. Begitu juga dengan pelanggan kami yang tidak hanya berada di Indonesia, tapi juga di luar negeri.

Kami harus membuat waiting list karena tidak mampu menampung seluruh pesanan yang atang saat dream catcher itu rilis.

"Kita simpen aja, ya? Siapa tahu ketemu yang pas. Setelah ini kita potongin semua yang kita beli."

Aku mencibir Rei. "Itu yang kita bilang juga dari pertama. Tahu-tahu tambah lagi dua biji."

Rei menguap lebar, "Itu karya seni. Masa lo mau kanibalin juga."

Itu juga aku tahu. Tapi biarpun usaha kami berjalan lancar, biaya yang kami keluarkan untuk membeli kaca-kaca itu dari rumah tua pun tidak sedikit. Harganya bisa tujuh atau delapan digit. Bahkan ada yang sampai sembilan digit di luar sana. Kami berdua belum cukup gila untuk membeli yang terakhir tadi.

Rei kembali menguap. "Kita obrolin pagi nanti lagi, ya? Gue tepar banget, deh."

"Okay. Besok pagi lo jangan lupa ke tukang sayur."

Aku mendengar pintu ruang kerja kami tertutup selama aku merentangkan tangan ke atas. Posisi tubuh kami tidak banyak berubah selama bekerja, sehingga otot-otot kami kaku. Aku juga akan mengakhiri hari saat mendengar suara yang sudah kudengar sejak kecil: suara kaleng yang beradu dengan kaca.

Untuk beberapa detik napas yang aku tarik berhenti di tenggorokan karena terhalang jantungku yang naik dan lupa caranya untuk berdetak. Lalu si sialan satu ini berdetak tidak karuan seperti biasanya ketika mendengar suara yang familier itu.

Kepalaku pun tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat secepat kilat ke arah Jendela yang juga terbuka lebar. Jendela yang tepat menghadap ke arah kamar Amos dulu. Aku tidak menemukan rambut yang bagian atasnya sedikit lebih panjang dibandingkan sisi kiri kanannya, tapi rambut ikal yang membingkai wajah dengan pipi bulat yang memerah tengah melambai heboh ke arahku menggunakan kedua tangannya.

"Tante Jaja!"

Aku menunjuk pada kaleng yang masih berada di sisi jendela milik Amos lalu mengarahkan pada telingaku. Liora mengikuti arahanku dengan baik lalu aku berbicara padanya, "Jangan teriak-teriak. Ini sudah malam." Aku melihat kalau bocah itu membuka mulutnya, sehingga kini kaleng sudah menempel di telingaku.

Liora terkikik geli. "Aku kan nggak tahu kalau bisa pakai ini buat ngomong." Dia masih tertawa, tapi lanjut berbicara. "Ompu sudah mendingan, tapi Papa punya supir sekarang. Jadi dia yang jemput aku sekolah sama Ompu dan Ara."

"Nggak ada yang nanya."

Namun seakan tidak mendengarku, Liora lanjut mengoceh. "Aku tadi makan ayam goreng yang Ompu buat. Terus tadi aku dipaksa makan sayur juga."

"Liora, cerewet." Lagi-lagi bocah itu tidak mendengarkanku dan lanjut mengoceh. Jadi yang aku lakukan adalah menutup jendela dan juga tirainya agar tidak melihat bocah yang mengenakan piama unicorn berwarna pink yang kedodoran itu.

9/1/23

Ada yang pernah lihat stained glass? Kalau yang di Jakarta, bisa lihat di Museum Bank Indonesia atau katedral. Itu cakeeeeeeeppp banget. Waktu kena cahaya matahari itu indaaaaaaahhhhh.

By far, setelah Kerjaan Nadira (Sequential Love) dan Ariel (Love Or Whatnot), ini juga kerjaan favoritku. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang