Six Ways to Sunday - 18.2 Titik Balik

6.1K 754 104
                                    




When enemies are at your door
I'll carry you way from war
If you need help, if you need help
Your hope dangling by a string
I'll share in your suffering
To make you well, to make you well

Gone, gone, gone - Phillip Phillips


Question of the day: Ada yang tau lagu di atas?

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.

Thank you :)

🌟

Sepanjang jalan aku mencoba mengatur napasku. Satu tarikan dari hidung dan mengembuskannya secara sembunyi-sembunyi melalui mulut. Beberapa kali berhasil, tapi lebih banyak napas yang keluar bergetar dan aku tersedak sendiri saat menahan tangisan melewati kerongkongan.

Satu-satunya cara yang tersisa adalah dengan mengalihkan rasa sakit. Numbing the pain in other places. Atau meyakinkan otakku ada rasa sakit di fisikku ketimbang di bagian yang tak kasat mata dengan menggigit bibir. Ini langkah yang cukup efektif biasanya.

Aku memenjarakan bibir bagian bawahku di antara kedua gigi. Mataku bergerak tidak fokus di kaca penumpang samping Amos yang tengah menyetir.

Fokusku hanya agar aku tidak menangis, tidak ke jalanan yang sudah menjadi makananku sehari-hari. Tidak ada yang menarik untuk dipandang.

"Ja."

Aku tidak mau menjawab karena takut yang lolos adalah isakan.

"Jaja Miharja."

Kenapa sih nggak ada yang mengerti kalau dipanggil saat galau seperti sekarang ini bikin air mata mengembeng semakin parah?

Gigiku menancap semakin dalam di bibir. Mataku masih fokus ke hal yang aku tidak tahu apa. Sesuatu berwarna cokelat yang membuat mataku sedikit lebih fokus. Juga hangat yang tiba-tiba memenuhi kedua pipiku.

"Tuh, kan. Lo kebiasaan kalau tahan nangis kayak gini." Sesuatu menarik bibirku keluar dari cengkeraman gigi. "Ini bisa berdarah, Jaja Miharja."

Aku mengedip tiga kali dan memproses sekitarku.

Hangat di pipiku adalah hasil dari panas tubuh Amos. Tepatnya tangan kedua cowok itu. Dan yang menarik bibirku sebelum berdarah adalah ibu jari kedua tangannya di daguku. Tubuhnya condong ke arahku dengan satu kaki terlipat di kursi sopir. Sudut mataku melihat pintu masuk perumahan kami.

Aku akhirnya sadar kalau Amos menghentikan mobilnya di pinggir jalan, bukannya langsung pulang.

"Lo inget nggak peraturan yang lo buat dulu? Kalau nangis harus ajak gue."

Itu peraturan konyol yang aku buat sewaktu kami kecil. Saat Namboru sakit dan Amos kecil menahan diri untuk tidak menangis di rumah sakit. Aku lupa persis apa yang aku katakan, sesuatu seperti kalau nangis nggak boleh sendirian. Ujung-ujungnya, aku menangis duluan lalu diikuti Amos yang lalu menyalahkanku atas tangisannya. "Nggak keren kalau cowok nangis," katanya waktu itu setelah mata kami sebesar bola pingpong karena terlalu banyak menangis.

Lalu aku menggunakan peraturan yang sama setiap aku ketakutan saat hujan. Amos akan ngedumel, tapi dia tetap menemaniku.

"Tapi lo nggak suka."

"Kayak lo pernah dengerin gue aja."

Hanya ini obrolan sederhana mengenai masa lalu serta perlakuannya yang sama seperti terakhir aku patah hati yang membuat bendungan di sekitar mataku jebol. Aku meraung seperti bocah yang dilarang makan es krim oleh ibunya padahal sudah menurut seharian.

Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang