Six Ways To Sunday - Marahnya Jaja 7.1

9.9K 1.2K 52
                                    



Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


Keberadaan tetangga lamaku yang baru muncul lagi setelah sekian lama membuatku semakin tinggal di dalam cangkangku tanpa ingin keluar rumah. Mengingat keberuntunganku sepertinya sudah habis dan tidak ada hari yang tidak aku lalui tanpa melihat Liora atau Adara. Entah Namboru yang datang untuk mengantarkan makanan sambil diikuti kedua bocah itu, atau mereka sedang bermain di taman dan melemparkan sesuatu ke pekarang rumahku. Yang terakhir anehnya sangat sering terjadi. Mulai dari pesawat-pesawatan hingga entah bagaimana boneka beruang bisa berakhir di atas pot bunga milik Rei.

Lebih parah lagi bapaknya. Aku dan Rei sudah membuat bagian siapa mengerjakan apa dan sialnya, sampah adalah bagianku. Jadwal pengambilan sampah setiap hari di pukul enam. Aku biasanya sudah mengeluarkan sampah sebelum jarum pendek menyentuh angka enam, lalu kembali tidur setelahnya. Dalam seminggu, aku bisa berpapasan dengan Amos minimum empat kali. Seperti pengecut, aku kabur begitu melihat puncak kepala, atau salah satu dari bagian tubuhnya di ekor mataku.

Sekarang aku ketakutan untuk keluar dari pintu rumahku sendiri. Ini menyebalkan.

"Jam empat lewat, nih. Sebentar lagi tugas ke negaraan lo muncul," ejek Rei yang merujuk pada jam bangun tidur siang Liora dan Adara dan itu berarti saatnya mengganggu kami.

Aku menghitung sampai sepuluh agar kesalku sedikit reda. Aku dan Rei sedang mengerjakan pesanan dream catcher untuk dikirimkan keluar negeri di ruang kerja kami. Tidak bermaksud jadi menyebalkan, tapi kami sedikit lebih suka mengerjakan pesanan dari luar negeri karena harganya dapat kami sesuaikan dengan standar di sana yang lebih tinggi. Belum lagi nilai tukarnya menguntungkan juga. Daaan pesanan di dalam negeri cenderung lebih sedikit. Mungkin kami harus mulai menambah budget untuk pemasaran.

"Rei, kita mungkin harus mulai pakai selebgram? Tiktok kita banyak yang lihat, tapi kita lebih terima bayak pesanan dari luar di sana. Apa kita mau bikin versi ramah kantongnya? Harga kita yang paling murah dari 1.5 juta soalnya." Aku membuka masker yang aku gunakan ketika memakai solder iron untuk mencairkan cooper came, ini untuk membingkai potongan kaca yang kami gunakan.

Rei mencontoh apa yang aku lakukan. "Bikin ukuran kecil dengan lebih sedikit kaca patri? Kita bisa bikin desain sederhana dengan beberapa rumbai kaca di bawahnya. Pakai rantai buat ikat dengan bagian atasnya. Jatuhnya kayak bandul gitu kali, ya? Jadi kita bisa hemat bahan-bahan, tenaga, dan waktu."

Buku desain yang selalu berada di dalam laciku kini sudah berpindah ke atas meja. Aku membukanya hingga mendapatkan lembaran yang putih bersih. Pensil di tanganku sudah menari-nari di atas kertas itu hingga menghasilkan garis dan membentuk gambar dari dream catcher yang lebih sederhana dari yang biasa kami kerjakan. Bagian atasnya kaca patri berbentuk bulat polos dengan berbagai warna lalu bawahnya ada rantai dengan gantungan berbentuk bulu yang terbuat dari kaca patri juga.

Rei mendorong kursinya hingga menabrak milikku. Matanya fokus pada gambar di atas kertas yang baru saja selesai aku buat dengan bantuan pensil warna. "Ini bisa. Tapi kayaknya bakalan susah buat di harga 500.000, ya?"

"Well at least it's under 1 million. Kita nggak bisa kasih jarak yang terlalu jauh, supaya nggak timpang dengan yang sudah ada."

"Setelah ini kita buat itu gimana? Buat coba-coba."

"Bisa. Tapi kita harus selesaiin pesanan ini dulu."

Kami mencapai kesepakatan dan kembali berkutat dengan pekerjaan hingga teriakan yang kami abaikan tadi kini menjadi lebih kencang dan arahnya sudah dari jendela depan Rei yang terbuka lebar. Bocah itu melambai-lambai dengan heboh dari kaca seberang.

"Tante Jaja, Tante Rei!"

"Cuekin aja, cuekin." Aku berkata kepada Rei yang sudah menoleh ke arahku. Masker sudah terpasang dan suara bocah yang berteriak itu tersamarkan oleh suara mesin yang tengah aku gunakan.

"Tante Jaja! Barbie-ku jatuh di halaman Tante!"

Teriakan itu memecah suara mesin dan sampai di telingaku lantaran dia melakukannya berkali-kali. Ini tiga kali lipat lebih menyebalkan dari kadar menyebalkan Liora biasanya. Aku melepaskan masker itu dengan kasar dan berjalan dengan langkah dientakkan menuju jendela.

"Liora, kamu ganggu orang kerja!" hardikku yang membuat bocah itu tampaknya terkejut hingga dia diam cukup lama dan aku lanjut mengoceh. "Orang punya pekerjaan, nggak cuma ambilin mainan yang sengaja kamu lempar. Jangan ngerepotin orang lain buat cari perhatian." Lalu menutup jendela agar aku tidak dapat melihat bocah itu lagi.

Amarahku nyalang dan tidak dapat aku sembunyikan hingga dadaku naik-turun dengan cepat. Aku berjalan cepat dan membanting bokongku di atas kursi kerja.

Diam mengisi ruang kerja itu selama sepuluh menit hingga Rei memecahnya. "Gue nggak pernah lihat sisi lo yang ini. Sinis lo mendarah daging, sih. Tapi nggak pernah ke bocah-bocah."

"Memangnya lo pernah lihat gue kontak dengan para bayi itu lebih dari 24 jam? 2 hours top dan sekarang dua biji tinggal di sebelah rumah ganggu kerja kita."

"Jangan bawa-bawa gue. Gue nggak merasa terganggu sama sekali." Rei mengangkat kedua tangannya. "Lo nggak ngerasa tadi sedikit keterlaluan? Dia cuma minta diambilin mainan."

"Lo sadar nggak sih kalau itu setiap hari? Itu bukan nggak sengaja. Perlu lo inget juga kalau itu berulang kali dalam sehari."

"Dia cari perhatian doang."

Aku menghela napas. "Gue bukan orang tuanya. Gue nggak berkewajiban untuk kasih perhatian ke dia," kataku tegas. Ini flaw yang ada di masyarakat. Menganggap anak kecil nakal yang mencari perhatian ke orang lain adalah hal yang normal. Padahal itu adalah tugas dari orang tuanya yang tidak bisa dibebankan ke orang lain.

Rei mengesah panjang. "Iya, tapi bukan berarti lo nggak bisa beramah-tamah kayak manusia pada umumnya."

"I did for a couple of weeks. Lo lihat sendiri gimana hasilnya."

"It feels more than that," ucap Rei sambil memicingkan matanya dan melihatku dari balik bulu mata lentiknya.

"Perasaan lo doang. But her father needs to get his grip. Dan jendela itu," kataku sembari menunjuk jendela yang menghadap ke kamar Amos, "permanently closed."

3/2/23

Tante Jaja merong-merong mulu kerjanya.

Buat yang mau baca on going tapi udah banyak bisa ke The Honeymoon Is Over. Kalau mau baca yang udah tamat dan masih lengkap di WP bisa ke Love Or Whatnot, Every Nook And Cranny, dan Rumpelgeist. Cerita lain yang sudah terbit bisa ke Lontara.app 

app 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang