Six Ways To Sunday - 10.2 Jaja, Momo, Dan Teh

8.4K 1.1K 110
                                    


Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)

🌟


"Tengah malem gini judes lo makin menjadi-jadi, ya?" Amos berbicara dengan mulut penuh dan sebagian kecil dari browniesnya mencelat ke mana-mana. Aku meringis geli, tidak tahu kenapa bisa-bisanya aku jatuh cinta setengah modar sama manusia satu ini selama bertahun-tahun.

"Tengah malam gini nggak tahu diri lo semakin menjadi-jadi, ya? Memangnya lo pernah terima tamu tengah malam gini? Tamu yang buka kulkas dan bikin teh sendiri kayak dia di rumahnya." Aku mengoceh, tapi perut lapar membuatku ikut memakan brownies itu. Aku memang sengaja menyimpannya untuk camilan tengah malam saat bekerja.

Amos mengernyitkan alisnya, berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban. "Pernah. Waktu lo ketakutan sama petir dulu. Lo merepet kayak petasan banting."

Aku melemparkan tisu yang sudah kuremas-remas ke arah cowok yang tidak berhenti mengunyah sambil memberikan jawaban. "Gue nggak datang ke rumah lo. Gue nggak makan camilan lo, apalagi bikin teh di sana."

"Tapi lo ganggu tidur dan mimpi indah gue sampai hujannya reda," Amos lalu memicingkan matanya, "itu terjadi selama musim hujan yang kita tahu bisa beberapa bulan. Tambahin juga itu hitungannya tahunan. Gue bisa kasih catatan hutang lo."

Aku tidak percaya kalau Amos mengungkit hal yang terjadi belasan tahun lalu dengan mata yang terbelalak. "Pelit. Medit. Koret. Kuburannya sempit."

"Right back at you. Kacang lupa kulitnya."

Grrr. Empat ejekanku dibalas dengan satu saja, tapi mampu membuatku bungkam. Membawa masa kecil kami membuatku tidak bisa membalikkan kata-katanya. Curang!

Seakan tahu kalau dia memenangkan ronde ini, Amos melemparkan senyum kemenangan, membuatku semakin kecut.

"Besok gue yang bawa baju Lio dan Ara ke sini pagi-pagi. Terus gembok depan dikunci aja. Mami punya kunci cadangan rumah ini yang Nantulang kasih sebelum berangkat." Amos menunjukkan kunci rumah dengan gantungan bertuliskan Danau Toba milik Mama. "Gue bakalan pulang tepat waktu besok, tapi mungkin sampai sini pukul tujuh kurang. Gue bawa makanan, jadi nggak usah beli makan malam."

"Gue ogah makan sama lo."

"Dih, siapa juga yang mau makan bareng? Gue bilang gue bawain makanan, bukan mau lihat muka lo di meja makan. GR banget hidup lo."

Kali ini aku melemparkan kotak brownies yang sudah kosong ke arah Amos. Perpaduan kesal dan malu karena ucapannya, juga karena camilanku habis diganyang cowok ini padahal aku baru mau makan satu lagi. "Beliin brownies gue!"

Kotak brownies sudah terjatuh ke lantai tanpa mengenai Amos yang gesit menghindar. "Iya, iya. Besok gue beliin. Ribut banget soal brownies doang." Dia membawa cangkir tehnya ke dapur dan memang dasar tamu tidak tahu diri, dia meninggalkannya begitu saja di sink. Dia tahu kalau itu akan membuatku kesal dan sengaja melakukannya. "Nanti gue yang anter Lio ke sekolah. Kayaknya di gudang masih ada carseat cadangan. Akhir pekan mereka full sama gue—"

"That goes without saying. Lo bapaknya, ya kali lo masih titipin juga ke orang lain waktu lo nggak kerja."

Posisiku yang membelakangi dapur membuatku tidak sadar kalau Amos sudah berada di belakangku. Satu tangannya mencubit bibirku cukup kencang hingga kepalaku ikutan maju, seperti dulu saat aku tidak berhenti mengoceh ketika kesal, itu membungkamku lebih cepat dari yang aku kira. Antara itu atau karena kontak fisik kami setelah sekian lama dan aku benci reaksiku.

Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang