Six Ways To Sunday - 20.3 Kencan Paksaan

6.6K 672 53
                                    


Question of the day:  kolam renang atau pantai?

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG, twitter, tiktok @akudadodado yaaw.

Thank you :)

🌟


Bisikan ketakutan menari di dalam dadaku dengan tempo yang semakin cepat. Lapis demi lapis pertahanan hatiku goyah. Emosi yang membingungkan menyebar seperti penyakit di dalam kepalaku. Perasaan yang aku tekan kuat selama ini mengancam muncul ke permukaan. Semuanya hanya akan memasung harapan dan menjanjikan kesengsaraan menurut pengalamanku.

Suara lembut Amos yang di akhir seperti bisikan pun tidak membantu untuk menenangkanku. Suara yang sering aku dengar jika aku menangis tersedu-sedu dan aku berpikir kalau dia tidak punya pilihan lain jadi melakukannya.

"Serem, ya?"

Aku mengangguk karena kata-kata tidak dapat keluar dari bibirku.

"Lo tetep harus ngomong sama gue, Ja. Yang lo takutin apa, kenapa. Biar kita bisa cari jalan keluarnya barengan. Misalnya gue, gue takut juga buat ngajak lo coba hal baru di antara kita. Setelah kita ketemu lagi dan balik kayak dulu. The thought of losing you again is enough to make my heart skip a beat and fills me with dread. Makanya, dibanding ketakutan sendiri, mending barengan sama gue aja." Amos membuka lebar tangannya di depanku, undangan untukku memegangnya tanpa perlu dilisankan.

Dengan penuh keraguan, aku menaruh tanganku di atas milik Amos. Sekilas tidak ada yang aneh, tapi saat tangan kami bertemu, aku merasakan sesuatu yang basah dan dingin padahal suhu di ruangan ini normal.

"See? Gue juga takut. Cara kita berdua memproyeksikannya aja yang berbeda. Lo pilih buat ambil langkah seribu, gue tetep coba biarpun jatuhnya masih kayak kita dulu. Both of us clueless with this. Ini ranah baru buat kita yang lama stagnan di sahabat. Terlebih dengan masa lalu lo. Gue juga punya ketakutan lain setelah hubungan gue yang gagal. Semua ketakutan jadi satu."

Amos menautkan jari kami. Rasa familier sekaligus asing merebak, berpusat dari telapak tangan kami. Familier karena kami sering melakukannya sewaktu kecil, juga asing karena ada afeksi baru yang menjadi inti dari apa yang kami rasakan.

"Ka—kalau kita nggak berjalan lancar, kita nggak bisa balik lagi ke posisi kayak sekarang. Lo juga punya buntut, Mo. Lo mesti pikirin mereka." Aku harus menempatkan rasionalitas ke kepala Amos juga kepalaku sendiri yang mulai goyah.

Amos sibuk memainkan jari kami dan gelembung-gelembung aneh di dasar perutku pecah satu persatu, sedikit mengaburkan fokusku jika aku tidak bersikeras.

"I don't think they mind. Mereka berdua suka sama lo dan Rei."

"Itu bikin lebih berat lagi, dummy. Mereka juga bakalan kehilangan orang lagi kalau kita nggak berhasil. Kehilangan ibu mereka aja lukanya belum pulih. Siapa yang tahu kalau gue sama lo bakalan bertahan berapa lama? Kita berdua sama-sama batu."

"Coba lihat sisi terangnya, kita berdua sama-sama batu dan menyerah pasti bukan pilihan. We are too stubborn to give up something we hold so dear. Hubungan kita juga beda dari orang lain. Mana ada kencan pertama yang langsung ngomongin kayak gini? Belum apa-apa gue langsung punya potensi ditolak."

Tangan Amos masih bermain dengan jariku, keinginan untuk menarik dan menjauhkan sentuhan dari antara kami berada di titik nihil. Semua sentuhan yang semula ragu-ragu, seolah tengah menjajaki ranah baru, kini mulai sedikit lebih berani dan lebih nyaman untuk bertautan.

His gentle hand and soothing words feel like a warm embrace. His presence alone feels like a warm embrace.

"Kalau ..." aku menelan ludah guna melunturkan ketakutan yang menyumpal kerongkonganku, "kalau kita coba ini, jangan kasih tahu ke siapa-siapa dulu. Gue nggak mau orang tua kita heboh dan bikin rumit kalau nggak berjalan lancar."

"Gue tahu lo dan kegelapan lo itu bakalan bikin pikiran buruk terus, but damn, it's upsetting to hear it before we even begin." Dia membawa tangan kami ke dadanya, tangan yang lain menutup mulut seolah dia tengah menangis. Ini yang meyakinkanku kalau dia tengah mengusiliku, meski terselip kejujuran di antara candaan itu. "Tapi, ok. Gue setuju. Bohongin Rei kayaknya nggak bisa, jadi selain dia mungkin kita masih bisa buat nggak ngomongin."

Aku mengangguk. Membohongi Rei tidak akan membuahkan hasil. Dia hanya akan mengendus ke segala arah dan merongrong hingga mendapatkan jawaban yang memuaskan hatinya. Itu berarti siksaan yang tidak berkesudahan karena dia akan terus menempeliku seperti anak ayam yang berkotek.

"Sekarang keraguan lo buat hubungan kita berapa persen?"

"Delapan puluh, mungkin."

"Masih tinggi." Amos mengangguk. "Jadi, kencan lagi di sini minggu depan?"

Kali ini aku yang mengangguk. Amos tersenyum lebar dan menaikkan telapakku ke wajahnya, menghujani dengan ciuman. It's just hand but I never know it could burn my whole body.

"Gue pulang dulu. Besok gue bawa Lio dan Ara ke sini buat main. Mereka protes karena nggak dibolehin ke sini seminggu. Mau dibawain apa besok?"

"Nggak usah. Biasa juga lo nggak bawa apa-apa kalo nge-drop Bibit Setan ke sini."

Amos menoyorku. "Lo nggak punya panggilan lain buat anak gue selain diasosiasikan sama setan?"

"Enggak ada, lo bapaknya soalnya."

Amos ngedumel sendiri. "Besok gue bawain apa?" desaknya. "Biasanya gue dateng ke sini sebagai sahabat, sekarang kan beda."

"Apa aja."

Amos melirik sekitar tempat kami duduk. "Kondom kayaknya nggak perlu, ya. Lo punya banyak ukuran." Amos menunjuk pada kotak hitam yang tidak aku sadari keberadaannya. Berjejer seperti di etalase supermarket, tepat di bawah layar proyektor. Ulah Rei yang aku tidak sangka benar-benar diwujudkan. Seharusnya aku paling tahu kalau sahabatku yagn sebentar lagi kehilangan nyawanya itu akan merealisasikan semua yang dia bicarakan.

Tolong, siapa pun, cekik aku hingga mati sekarang juga.

11/10/23

jangan lupa baca cerita lain yang sedang on going yaa biar nggak ketinggalan intermezzo part yang aku hapus 24 jam setelah apdet hihi

jangan lupa baca cerita lain yang sedang on going yaa biar nggak ketinggalan intermezzo part yang aku hapus 24 jam setelah apdet hihi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang