Six Ways To Sunday - Tetangga Sebelah Rumah 2.1

14.9K 1.4K 21
                                    



Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


"Rei, I swear to God, if you bang the door one more time, I will—" Laju kalimat yang sudah keluar dari mulutku tiba-tiba saja menarik rem dan berhenti mendadak ketika tidak menemukan perempuan dengan rambut merah di depan pintu rumah. Mataku malah tertumbuk pada rambut hitam yang membingkai wajah yang dipenuhi keriput. Wajah yang tidak asing. Bibir yang dikelilingi keriput itu berwarna merah bata dan tersenyum lebar.

"Oja!" Tangan perempuan tua di depanku terbuka lebar sebelum tubuhku tertarik dan menabrak ke tubuh yang sudah tua tapi masih kokoh itu. "Lama kulihat, makin cantiknya kau," oceh tamu itu sementara aku masih mengumpulkan nyawa yang berserakan setelah keterkejutan yang membuat kepala kosong. Aku siap dengan omelan, tapi tidak dengan keadaan sekarang yang berbeda jauh dengan bayangan.

Seperti rumah sendiri, tamu tak diundang itu menarikku untuk duduk di sofa dengan bahan kain bergambar bunga-bunga. Aku belum sempat mengumpulkan akal sehat, tapi perempuan tua itu sudah lebih dulu membuka pembicaraan lagi.

"Lama nggak lihat. Terakhir itu sebelum Namboru pindah, kan? Lima tahun lalu, ya?"

Kata Namboru yang diucapkan menarik seluruh akal sehatku kembali ke tempatnya. Otakku mulai berfungsi, meskipun masih lambat.

Aku tidak mungkin melupakan perempuan di depanku ini. Namboru Amos, yang tidak lain dan tidak bukan adalah mama dari Amos, yang juga merupakan tetangga sebelah rumah, dan juga sahabat dari mamaku. Logat batak yang asing ditelinga itu membuatku sedikit aneh. Pasalnya, dibandingkan dengan mama, Namboru Amos lebih sering berbicara tanpa menggunakan logat. Penampilannya pun berbanding 180 derajat dengan Mama yang tampak sangat batak. Tahu, kan? Tulang pipi tinggi, rahang yang tegas dan kotak serta jambul anti badai yang selalu menjadi gaya rambut andalan. Tanpa berbicara pun orang-orang bisa tahu kalau Mama adalah Batak tulen.

Tanganku digenggam erat oleh Mercy, mamanya Amos, matanya berbinar-binar seperti benar-benar senang karena bertemu denganku. Ralat, Bou memang benar-benar senang bertemu denganku. Yang aku tidak mengerti adalah, kenapa mamanya Amos ada di sini? Kepalaku pun menoleh dengan cepat ke daun pintu, menunggu jambul Mama untuk masuk lebih dulu ketimbang tubuh berisinya.

"Mamamu nggak ikut," kata Bou setelah melihatku menantikan sesuatu dengan ekspresi ngeri. Kekehan kecil tidak dapat ditahannya keluar. "Dia lagi ngurusin restorannya di sana. Ada pesanan untuk pesta," sambung Bou yang menyulut rasa lega di dada yang aku tujunkkan dengan helaan napas lega dari bibir.

Bukan rahasia umum kalau Mama selalu merongrongku untuk menikah. Iri karena melihat sahabatnya sudah memiliki cucu, sedangkan ia masih saja berkutat dengan anjing, babi, dan bebek di kampung. Oh, iya, mamaku yang tidak bisa diam itu memang memiliki kegiatan selingan selain mengurusi restoran dan kateringnya; beternak babi dan bebek.

Coba tebak bagaimana Bou bisa tahu kegiatan mamaku? Betul sekali. Lagi-lagi mereka hidup bertetangga, seakan belum puas melihat wajah satu sama lain selama lebih dari 50 tahun. Dibandingkan pernikahan Mama yang langgeng hingga maut memisahkan; papa meninggal, aku lebih iri dengan persahabatan yang dimiliki oleh mama.

Bou melihat-lihat sekeliling dan menjatuhkan tangan pada sofa berwarna krem yang sangat granny style dengan rumbai di bawahnya. "Ini sofa masih ada aja. Nggak dibolehin dibuang sama mama kau itu, ya?"

Aku tertawa. Ini adalah sofa keramat yang bahkan Mama saja tidak mau mengirimkannya ke kampung dengan alasan tidak mau rusak di jalan. Sofa yang rangkanya lebih tua dariku yang dirawat sepenuh hati seperti anak sendiri. Katanya ada nilai sentimental yang dimiliki Mama terhadap sofa ini. Tempat Mama dan Papa duduk untuk minum kopi di hari Sabtu setiap hari setelah membeli rumah ini.

"Mama lebih sayang sama sofa dibanding anak tunggalnya," selorohku yang diamini oleh Bou tanpa pikir panjang. Kami berdua berpandangan sesaat sebelum tawa pecah dan mengakhiri kecanggungan yang pekat di sekitar kami.

"Bou mau minum apa?" Aku berdiri, buru-buru berjalan menuju dapur dengan panik dan membuka kulkas. Aku menghela napas lega ketika mengingat kalau tiga hari lalu Rei baru saja berbelanja isian kulkas sehingga ada jus jambu merah di sana. "Jus jambu mau?" tawarku. "Soalnya kalau nggak mau, cuma ada air mineral." Tawa menyusul keluar setelah itu. Stok terakhir kopi sudah habis kemarin, dan aku serta Rei bukan tipe yang suka meminum teh jika tidak kepepet.

"Air mineral aja, Oja." Suara Bou terdengar menyahuti dari arah depan. "Kau sibuk apa aja sekarang?"

"Masih sama aja, Bou. Masih mainan sama kaca kalau kata Mama," jawabku dengan dua tangan membawa nampan. Di atasnya ada dua gelas yang sekelilingnya berembun dan nastar yang menjadi favoritku dan Rei. Meletakkan semuanya di atas meja lalu duduk di samping Mercy. "Bou lagi main ke sini? Nginep di hotel mana?" tanyaku antusias.

Bou Amos, seperti ibu-ibu lainnya, sangat gila dengan kebersihan. Rumah di samping yang dulu mereka tempati sudah kosong semenjak Bou pindah ke kampung. Seperti ibu-ibu lainnya juga, Bou tidak suka jika ada orang lain yang memasuki rumah tanpa pengawasannya, sehingga tidak mungkin rumah yang sudah tidak lama ditempati itu akan ditinggali oleh sahabat mamaku itu.

"Bou mau tinggal di sebelah lagi buat sementara," jawabnya dengan antusiasme yang lama tidak aku dengar. Antusiasme yang mengular ke lawan bicara dan suara yang melengking tinggi. "Bou mau minta tolong buat bantu beres-beres rumah. Sudah nggak kuat lagi lah aku beresin dua lantai gini."

Obrolan kami terhenti saat ada orang lain memasuki ruangan dan berhenti di sana. Aku melihat kesempatan untuk tidak membersihkan rumah itu seorang diri dan mencemplungkan Rei yang baru pulang. "Bisa, Bou. Rei juga bisa bantuin, ya, kan?" Rei yang baru tiba hanya dapat bengong dan menyetujui hal yang bahkan dia tidak tahu apa.

7/11/22

Balik lagi ke Jaja Miharja~

Balik lagi ke Jaja Miharja~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang