Six Ways To Sunday - 13.2 Satu Rahasia ke Rahasia Lainnya

6.6K 970 110
                                    


!!TRIGGER WARNING (TW): ABBORTION & RAPE!!

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.

Thank you :)

🌟

Aku harus mencuci mulutku setelah ini karena melontarkan kalimat itu setelah bertahun-tahun hanya diketahui oleh Rei. Aku tidak tahu kenapa melakukannya.

Bohong, teriak suara di dalam kepalaku.

Aku tahu betul kenapa melakukannya secara tidak sadar. Amos adalah tempat curhatku dulu. Mudah untuk berbicara dengannya karena dia tidak memberikan omong kosong saat aku meminta saran. Seluruh syaraf tubuhku familiar dengannya.

Mata Amos yang terbelalak adalah satu pertanda gerigi di dalam kepalanya tengah berputar dan mengolah data yang aku berikan.

"Back to your kids, menurut gue lo sudah ambil langkah pertama buat mereka. Dengan bawa ke psikolog maksudnya."

"Enak aja lo belokin obrolan lagi. Nggak ada. Kita bahas yang lo omongin tadi."

Aku mengerang. "Ceritanya panjang."

"Gue punya empat jam sebelum berangkat ke kantor," kata Amos setelah melihat jam di ponselnya. "Lo mau bikin cerbung setelah itu juga masih bisa."

Tanganku bergerak gelisah dan mencabuti rumput taman belakang. "Ya, gue aborsi. Mau cerita apaan lagi?"

"Kejadian sebelum aborsinya lah. Lo kan nggak mungkin tiba-tiba ambil keputusan itu. Lo itu mikir panjang kali lebar sebelum ngelakuin sesuatu, Ja. Pasti ada alasan di baliknya."

Perih merajam dadaku dan bermuara di balik bola mata. Ketakutanku membicarakan perihal ini adalah judgment. Orang-orang selalu menghakimi keputusan aborsi karena lebih tertarik dengan apa yang terjadi setelahnya, bukan alasan di baliknya. Apa yang Amos katakan barusan membuatku merasa dilihat. Didengarkan.

Atau mungkin juga ini mellow karena aku sedang mau datang bulan.

Aku memilah kata. Bingung apa yang harus aku lontarkan lebih dulu karena banyak kalimat yang bergumul di dalam kepala, meminta untuk dimuntahkan. Meminta untuk didengar oleh orang lain, tetapi sedikit yang benar-benar mendengar. Kebanyakan orang langsung menghakimi.

"Kayaknya dia seumuran Ara kalau nggak diaborsi. Mau empat tahun, kan?"

Dari sudut mataku Amos memberikan anggukkan.

Satu tarikan napas panjang untuk menenangkan diri sendiri lalu kata demi kata berbarik membentuk kalimat di dalam kepala. Meski gumpalan sebesar bola ping pong menahan lajunya di tenggorokan; ketakutan, amarah, malu, rasa bersalah.

"Relationship gone wrong aja."

"Gue nggak suka kalau lo ngomong kayak mengecilkan masalah lo, deh."

"Ini kan sudah lewat."

Amos melotot dan aku mengesah. "Garis besarnya supaya gue nggak bikin bosen lo adalah mantan pacar gue dulu ngajak ketemuan, dia ngajak balikan, gue nggak mau, terus bangun-bangun gue di apartemennya nggak pakai baju. Akhirnya lo tahu gimana dan jangan tanya gue yang kejadian sebelum pagi, karena gue benar-benar nggak tahu dan nggak mau tahu."

Kepingan kejadian hampir lima tahun lalu satu persatu muncul di dalam kepala. Potongan tiap gambar masih sangat jelas, seperti baru terjadi kemarin. Pahaku kini sudah menempel di dada dan kedua tanganku memeluk kakiku erat. Aku sama sekali tidak berani melihat ke Amos.

"Dia tahu?"

"Mantan gue? Tahu kalau gue hamil maksudnya?"

Amos mengangguk.

"Tahu lah. Dia yang semangat 45 mau kawinin gue. Tapi gue nggak segila itu buat mau nikah sama dia. Pagi-paginya Rei langsung bawa tes buat tau di makanan atau minuman gue dan diketemuin date-rape drug. Dia juga bawa gue buat bikin laporan tertulis ke pihak berwajib. Kalau pun nggak ada tindak lanjut, seengaknya gue punya laporan kata dia.

"Gue tahu itu keputusan unortodox, tapi gue nggak bisa kalau lihat dia dan yang ada di kepala gue itu bapaknya. Gue takut benci dia dan malah nggak bisa jadi ibu. Tapi masyarakat kayaknya nggak bisa lihat cerita dari sisi gue. The judgment is real. Bahkan dari pelakunya." Aku tertawa pelan mengingat apa yang mantanku katakan melalui sambungan telepon. "Gue dibilang nggak punya rasa kemanusiaan. Bisa-bisanya bunuh anak yang nggak salah apa-apa. Can you imagine? Gue yang korban, tapi gue yang disuruh bertanggung jawab lalu dicap pembunuh."

Bagaimana aku bisa membawa manusia ke bumi ini kalau tidak sedikit pun ada rasa cinta yang tumbuh? Hanya ada ketakutan dan benci. Bagaimana juga bisa-bisanya ada jalan keluar untuk menikahkan pelaku pemerkosaan dengan korbannya? Apa tidak ada yang berpikir luka yang akan selalu mucul setiap hari? Ketakutan yang tidak hanya menggerogoti dari dalam dalam bentuk mimpi buruk atau pikiran buruk, tetapi juga ada di dunia nyata.

Apa tidak ada yang memikirkan mental korbannya? Kenapa pelaku harus bertanggung jawab dengan menikahi korban? Kenapa tidak bertanggung jawab di hadapan hukum saja? Keaa juga korban yang harus memiliki aib sehingga perlu ditutupi?

"Itu intinya," tutupku tanpa memberikan detail mengenai banyaknya konseling yang aku lakukan setelah itu dan bagaimana akhirnya aku bisa berdamai atau bagaimana anak-anak Amos membuat rasa bersalah yang aku kubur dalam-dalam, muncul ke permukaan. Terutama saat melihat Adara atau Liora yang terang-terangan merasa ditinggalkan oleh ibunya. Atau bagaimana aku memandang jijik terhadap tubuhku sendiri, atau benci kepada diriku yang sedikit merasa lega setelah melakukan aborsi. Terkadang aku merasa aku bukan manusia dan tidak diciptakan untuk menjadi ibu. Aku merasa seperti monster.

"Nantulang tahu?" tanyanya lagi.

"Enggak. Gue nggak punya hati bilangnya. Itu nggak lama dari bokap meninggal. Gue nggak bisa bayangin kehilangan belahan jiwa gue, terus dapat kabar anak gue kayak gitu. Bayangin nyokap sakit kalau dengar ini bikin gue ketakutan."

"Cuma Rei yang tahu?"

Aku menggerakkan kepalaku ke atas dan ke bawah sekali. "Dia juga maksa buat tinggal di sini supaya gue ada temennya."

Amos tidak mengeluarkan kata-kata cukup lama hingga aku menyadari ada panas dari sisi tubuhku dan senggolan pelan di bahu. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Dan terus terjadi selama mengisi kekosongan percakapan di antara kami. Kebiasaan Amos sejak dulu jika aku bercerita dan dia tahu aku tidak memerlukan kata-kata bijak atau apa pun darinya, selain keberadaannya dan tahu kalau aku didengar. 

20/7/23

KOMEN YANG BANYAAAK YAA udah apdet cepet nih wkwkw

KOMEN YANG BANYAAAK YAA udah apdet cepet nih wkwkw

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang