Six Ways To Sunday - 20.1 Kencan Paksaan

6.6K 817 80
                                    


Question of the day: kulit ayam kaepci atau ayamnya aja?

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.

Thank you :)

🌟

"Enggak. Gue aja nggak ngerasain apa-apa sama lo. Ini murni platonic." Aku menjawab dengan lugas. Tidak membiarkan keraguan menunggangi setiap kata yang mengalir deras dari bibirku.

Amos mendengkus seperti kerbau, "Platonic my ass," bisiknya di helaan napas panjang. "Satu kencan. Di rumah lo aja ngak apa-apa. Sabtu minggu depan. Deal?" Amos terus mengoceh dan menjabat tanganku. "Deal. Gue dateng ke sini pukul tujuh malam? Kita pesen makanan aja. Netflix and chi—Enggak, enggak. Nonton biasa aja nggak pake chill."

Lagi-lagi, tanpa menunggu dia menarik tangan dan mencium telapak tanganku. "To seal the deal. Kalau deg-degan nunggu minggu depan, kabarin gue aja, kita deg-degan bareng."

**

"Ja, gue diusir sama Amos masa dari sini. Katanya, boleh numpang di rumahnya terus gue dikasih uang jajan. Berasa bapak gue dia. Kalian beneran kencan di sini?"

Rei menerobos masuk ke dalam kamarku di pukul tujuh pagi saat mataku baru saja mau terpejam. Aku tidak bisa tidur semalaman sehingga bekerja menjadi pilihan terbaik untuk menghabiskan waktu dibanding berdebar tidak tentu.

Ramalan konyol Amos menjadi kenyataan. Mungkin dia memang berbakat menjadi dukun abal-abal.

"Gue baru tidur, Rei. Bisa nggak dibahasnya nanti aja?" Aku menarik selimut hingga ke kepala dan memeluk gulingku seakan hidupku bergantung penuh pada benda itu. Sekejap, selimutku terlempar ke udara dan bantalku menghilang dari dekapanku.

Pelakunya siapa lagi kalau bukan Rei. "Enggak. Gue perlu reportase gimana dari hampir ciuman ke rencana kencan."

Mataku terbuka perlahan untuk menyesuaikan dengan tirai kamarku yang ternyata dibuka juga oleh Rei. Saat pertama sinar masuk ke retinaku, aku harus kembali mengeratkan pejamannya. Ini terlalu pagi dan terlalu dini untuk ocehan siapa pun.

"Lo tanya aja ke orang yang ngusir lo. Gue bilang nggak mau kencan juga dia nggak mau dengerin."

"Ke lo emang harus main siapa yang paling keras kepala. Enggak heran dia bisa betah temenan sama lo."

"Lo sahabatnya siapa, sih? Sana ke Amos aja kalau masih belain dia."

"Idih, ngambek. Jelek banget lo. Mandi, gih. Luluran. Lo perlu gue siapin apa, nggak?"

"Nggak usah."

"Okay, gue siapin sofa sama proyektor buat kalian nonton."

"Nggak usah," kataku cepat nan sewot.

"Lo demanding banget. Iya, gue siapin juga kondom berbagai ukuran karena gue nggak tahu sizenya Amos."

Aku melotot ke shabatku yang ngomongnya melantur jauh dan tidak tahu kapan harus berhenti mengoceh. "Lo bisa diem, nggak?"

Rei berdecak dan menyisir rambutnya dengan jemari. "Gue sediain camilan dengan afrodisiak juga nanti."

"Oh my god!" Teriakku frustrasi saat semua perkataanku bagaikan angin lalu di telinga Rei. "Lo biasanya penuh wejangan sebelum gue pergi kencan. Nggak bisa balik ke sana aja? Bilang lo di rumah aja soalnya takut gue kenapa-kenapa."

"Oh, please. Kita berdua tahu Amos nggak bakalan ngelukain lo atau aneh-aneh kayak mantan berengsek lo."

"Belum tentu."

Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang