Six Ways To Sunday - 16 - Perjanjian Sewaktu Kecil

5.8K 705 50
                                    


Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)

🌟

"Mo, gue mau balik, ah. Bosen banget di sini duduk doang."

Amos menyeruput minumannya, masih melihat ke sekeliling cafe yang riuh dengan suara orang-orang. Obrolan mereka menjadi latar yang konstan di antara percakapanku dan Amos yang tidak jauh-jauh dari apa yang diucapkannya sekarang. Kalimat ini sudah aku dengar semenjak bokong kami menempati meja di ujung cafe dekat dengan jendela, sehingga setiap sudut cafe ini dapat kami lihat.

"Yang itu gimana, Ja? Ganteng terus ..." Amos menyipitkan matanya, "Itu kunci mobil yang ngegantung di kantong celananya?" Dia lalu menggeleng. "Jangan, jangan. Ntar lo disuruh nyepong di mobilnya." Matanya yang sedari tadi melanglang buana ke seluruh penjuru apartemen kini berhenti di meja sisi lain cafe seberang kami. Ke arah tiga orang cowok yang tengah sibuk dengan ponsel mereka yang menempel di kedua tangan. Tampaknya tengah bermain gim.

Aku melemparkan tatapan sinis kepada Amos. "Lo juga nyuruh cewek lo sepongin lo di mobil kalau gitu?"

Amos memegang dadanya dan menarik napas dalam dari mulut. "Lo pikir gue sejahat dan semesum itu? Nggak lah." Dia melanjutkan dengan bisikan seolah menceritakan teori konspirasi. "Itu mereka sendiri yang inisiatif."

"Emang penjahat kelamin lo. Anak orang bukannya dipacarin, malah diajak jadi Teman Tapi Mesum." Aku melipat tangan di depan dada sementara cowok di sebelahku yang rambutnya sudah melewati bahu itu terkikik centil. Tanganku meraih ujung rambutnya yang menempel di leher. "Lo nggak potong ini? Bentar lagi masuk sekolah. Dibotakin sama Pak Mamat lo ntar."

"Ntar lo ratain aja."

"Ke salon lo. Males banget gue ngurusin rambut lo tiap dua bulan."

Amos mencibir. "Jangan pelit. Gimana, ya, Ja. Gue pacaran rada males. Masa ada yang baru kenal ngomongin nikah? Gila kali, gue aja belum lulus sekolah. Ini lagi trend cita-cita nikah muda apa gimana, sih? Nyeremin banget."

"Lo nggak kepikiran nikah emangnya?"

"Kepikiran lah. Nggak tahu kapan, tapi yang jelas bukan sekarang."

"Emang lo mau punya istri yang gimana?"

Amos menggaruk pipinya. "Gue juga nggak kepikiran mau punya calon istri yang gimana. Yang bisa diajak ngobrol kayak lo mungkin? Atau kayak waktu kita kalau lagi diem juga nggak bikin canggung." Amos menaikkan jari telunjuknya ke langit-langit cafe. Tangan yang sama lalu menyanggah dagu dan menyengir lebar ke arahku. "Gimana kalau kita bikin perjanjian kalau belum ada yang nikah sampai umur tiga puluh lima tahun, kita nikah aja?"

Kalimat keduanya sudah membuatku lupa bernapas dan usulannya membuat jantungku berhenti berdetak selama satu tarikan nafas.

"Iya, kan? Kita berdua kenal banget luar dalam satu sama lain. Nikah sama gue nggak bakalan bikin bosen. Gue juga tahu cara jinakin lo: bomboloni sama lego yang banyak. Gue juga hemat biaya potong rambut, soalnya istri gue bisa lakuin di rumah. Paling rada boncos di makan soalnya lo sama gue nggak masak, jadi kita bakalan beli di luar terus."

Aku masih belum bernafas dan jantungku kini mengeluarkan kartu reverse uno dengan berdetak terlalu kencang. AMos melanjutkan pitching-nya tanpa beban.

"Gue ganteng, lo juga nggak jelek-jelek amat. Kita banyakin doa aja supaya mirip gue dari segi wajah sama sifat. Kalau sifatnya kayak lo, gue mau tanya dulu ke Tuhan, boleh tukar tambah nggak. Satu yang gelap kayak lo cukup banget di rumah."

Amos menghinaku, itu sudah pasti dan sangat jelas. Tapi kata 'kita' yang Amos gunakan sekarang membuatku tidak dapat marah. Bukannya dia tidak pernah menggunakan kata itu untuk menggambarkan kami. "Kita tadi pergi makan di luar", "kita habis main di taman", "kita pergi dulu ke sekolah" atau yang sejenisnya setiap orang tua kami atau teman-teman kami bertanya kami ke mana saja. Namun, menyandingkan kata kita dan anak itu yang baru pertama aku dengar.

Amos menarik kelingkingku dan mengaitkan dengan miliknya. "Janji, ya. Umur tiga puluh lima, kalau kita berdua masih single, kita bakalan nikah."

Otakku yang masih kosong tidak dapat memikirkan jawaban apa pun kepada Amos.

Tunggu, tunggu, tunggu. Kenapa aku nggak bisa menoyor kepala Amos untuk usulan gilanya dan kenapa jantungku berdetak cepat banget?!

13/9/23
Eaaaaaaaaa jaja jatoh ke jaring momo wkwkwkwk

13/9/23Eaaaaaaaaa jaja jatoh ke jaring momo wkwkwkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang