Six Ways To Sunday - 14.1 Duo Keriwil

6.9K 927 56
                                    


Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.

Thank you :)

🌟

"Gue bosen berat, nih." Rei mengaduk kopi di mug hingga dentingannya tidak berhenti terdengar semenjak dua menit yang lalu. "Mana rumah juga sepi banget," keluhnya lagi untuk yang entah keberapa.

Aku tidak menanggapi ocehan sahabatku yang kini sudah berpangku tangan dengan bibir tertarik ke bawah.

"Lo nggak bosen apa?" tanyanya lagi saat tidak mendapatkan reaksi apa-apa dariku.

"Enggak. Kalau bosen, gue tinggal ke atas. Ngerjain pesenan dream catcher buat ke US."

Pesanan dari luar negeri secara konstan terus berdatangan. Mungkin karena memang harganya yang sesuai untuk market di sana, ketimbang di Indonesia.

"Tapi gue bosen. Gue semaleman sudah lemburin itu."

Aku tahu ke mana muara dari keluhannya sejak tadi, tapi aku tidak sedang ingin membahasnya. Tahu kalau Rei yang terlalu penasaran akan tidak sabaran dan menodongku dengan sejumlah pertanyaan jika tahu apa yang menjadi alasan di balik rumah ini yang sepi seperti kuburan. Setidaknya ini menurutku.

Lagi pula, aku sedikit senang membuatnya geregetan sendiri melihatku pura-pura bloon.

"Tut juga digondol pergi sama yang punya." Lagi-lagi Rei menghela napas panjang dan menempelkan pipinya ke permukaan meja makan. "Gue bosen banget, Ojaaa."

Aku menyeruput teh melati dari cangkirku kemudian menggumamkan, "Iya." Mataku melihat dari cangkir berwarna cokelat ke arah Rei yang sudut bibirnya berkedut untuk menahan kesal lantaran pancingannya tidak ada yang mengenai umpan.

"Spill it," tukas Rei, "kok bisa si duo kriwil sama si Kentut digondol bapaknya dan nggak balik-balik."

Bahuku terangkat sekali. "Mungkin mereka sadar kalau rumah kita bukan penipitan anak."

Rei mengesah secara berlebihan sambil memijit alisnya, "Lo jangan pura-pura bego sama gue. Itu duo nggak mau kabur semenjak lo judesin dari awal. Ini nggak ada hujan, nggak ada badai, tahu-tahu mereka nggak datang ke sini lagi."

"Beneran. Gue nggak tahu apa-apa."

Tidak sepenuhnya benar.

Terakhir aku berbicara dengan Amos, malam itu, dia hanya diam dan mengatakan "Terima kasih udah cerita, Jaja." Lalu berpamitan untuk pulang di pukul tiga dini hari. Setelah kami menghabiskan waktu di dalam kepala kami masing-masing dan tanpa ada yang berbicara. Keheningan yang tidak membuatku gusar. Tenang.

Aku lupa bagaimana mudahnya bercerita ke Amos mengenai apa pun—kecuali perasaanku—dan bagaimana setiap kata berentetan keluar tanpa perlu aku saring lagi atau tanpa peduli bagaimaan tanggapan orang lain mengenainya. Atau bagaimana jika cerita ini akan keluar dan terdengar oleh ibuku, karena Amos tidak mungkin melakukannya. Dia lubang hitam dari seluruh ceritaku. Tidak ada yang keluar dari sana. Lebih aman dari buku harian yang memiliki kemungkinan dibaca oleh orang lain.

He is my human diary.

Well, used to.

Namun, setelah banyaknya tahun yang berlalu tanpa kami bertukar kabar, aku tetap dapat menemukan sisi itu di Amos. Bagian yang membuatku nyaman untuk bercerita. Sejujurnya, ini membuatku sedikit takut dengan kebiasaan yang terulang kembali. It's like I'm reading the same book and already know how it ends. Dengan ujung yang aku kembali kehilangan sahabatku, bahkan sebelum kami kembali dekat.

Aku tidak tahu alasan kenapa dua bocah itu tidak lagi mengusik kami, pun dengan Kentut yang tiba-tiba saja diminta sore harinya, tapi dugaanku Amos tidak mau menggangguku.

"Lo nggak ngerasa ini sepi apa, Ja?"

Apa aku rindu kekacauan dan kebisingan di rumah ini setiap dua bocah itu datang? Tentu saja tidak. Tapi, rumah ini terasa sedikit sepi tanpa lagu Let It Go yang tidak berhenti diputar oleh Liora setiap detik. Atau kikikan Liora yang mengusili Adara dan dibalas oleh adiknya. Siklusnya terus berputar hingga Amos datang menjemput, meskipun Namboru sudah ada di rumah.

Namun, aku tidak melihat ada gunanya untuk menjawab pertanyaan itu, sehingga aku balik bertanya, "Bukannya sepi sudah biasa ya, Rei?"

"They successfully taken us by storm. Sepi sekarang bukan hal yang ramah di telinga gue. Gue sedikit kangen dengan teriakan Lio yang ngegas dan suara mendayu dan malu-malu Ara. Juga bagaimana tenangnya rumah waktu mereka tidur siang." Dia menatapku tajam. "Lo nggak bisa nipu gue."

"Kalau lo segitu sukanya sama mereka, nikahin aja bapaknya sekalian."

"Enggak, ah. Gue lihat mukanya Amos sudah anyep duluan."Rei tiba-tiba berdiri hingga kaki kursi makan beradu dengan lantai dan menghasilkan decitan. "Gue mau ke sebelah. Mau lihat duo keriwil."

Dia sudah keluar rumah dan aku masih duduk di kursi meja makan untuk menghabiskan tehku yang sudah dingin.

Alih-alih mendengar bunyi pagar yang dibuka, lengkingan Rei yang justru memasuki telingaku. "Oja, kita dapet surat!"

"Gue nggak ada denger orang manggil dari tadi. Biasanya kan ada yang teriak," balasku berteriak. Aku masih enggan pindah dari singgasanku.

Rei mengambil langkah lebar dan cepat hingga tiba ke tempatku duduk. "Pos khusus duo keriwil." Amplop dengaan gambar dua orang dan rumah sebagai latarnya. Digambar dengan crayon dan aku mau tidak mau harus mengenal tulisan berantakan yang sulit untuk dibaca dan coretan dengan koreksi di atasnya.

"Untuk Tante Jaja dan Tante Rei."

Aku membuka amplop putih itu dan membuka kertas yang juga ditulis oleh Liora dengan gambar Ara di semua sisinya. Gambar bunga dengan berbagai macam warna.

Tulisan ini pun banyak koreksinya di bagian atas. Aku mencoba membaca tulisan di atasnya sambil menduga-duga apa yang bocah itu mau sampaikan.

"Ara's birthday bash. Hari sabtu jam empat sore," rangkumku. 

30/7/23

Komen dan pencet bintang yess :)

Komen dan pencet bintang yess :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang