Six Ways To Sunday - Tangan Kanan Lucifer 4.1

12.7K 1.3K 38
                                    




Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


Seharusnya aku tahu kalau rencana kaburku tidak selamanya dapat berhasil. Aku tidak mungkin mengelabui Tuhan dengan rencana-rencana hebatnya itu. Telepon yang baru saja aku angkat ini menjadi salah satu pertanda betapa agendaku tidak akan berjalan dengan lancar jika Tuhan tidak mengizinkannya.

"Oja, ini masih tersambungkan teleponnya?" kata perempuan yang bersuara sangat serak dan hampir tidak terdengar lagi itu. Tepat tiga minggu setelah aku kucing-kucingan, aku mendapatkan panggilan ini.

"Oh, iya, Bou. Sambungannya bagus, kok."

"Terus gimana? Bisanya kau jemput Lio di sekolahnya?" Batuk kering yang berulang kali terdengar lagi dari seberang sana. "Kalau Bou nggak sakit gini, Bou jemput sendiri dia." Akhir silabel hampir tidak terdengar karena batuk yang susul menyusul.

Namboru memang tidak mengiba sama sekali untuk memintaku menjemput cucunya, tapi siap yang bisa tahan tidak setuju jika dimintai tolong sambil batuk terus menerus. Belum lagi yang melakukannya adalah orang yang baik kepadamu seumur hidupmu. Yang terakhir saja cukup untuk membuatku mengiakan apa pun permintaannya, ditambah dengan yang pertama.

"Bisa, Bou. Nanti juga dia di sini aja—"

"Jangan, Inang. Biarin aja dia di sini."

"Nanti ketularan sakit, Bou. Aku juga bisa temenin dia di sini."

"Nggak repotnya kau, Inang?"

Aku tersenyum. Ini adalah hal yang sering Bou dan mamaku lakukan dulu. Saling menitipi anak jika salah satu sedang sakit. Karena Mama tipe yang sakit setiap tamu bulanannya datang, setiap bulan juga aku dititipkan di sana. Sedangkan untuk Amos dan abangnya jarang-jarang dititipi seharian karena kondisi Namboru yang sangat prima. Atau ketika Papa dan Mama sedang melakukan trip tahunannya dalam rangka bulan madu yang keseribu kalinya.

"Enggaklah. Aku kan sering dititipin di sana sama Mama dulu. Utangnya Mama banyak," candaku.

Setelah ngobrol selama beberapa menit dan mendengar wejangan dari Bou, aku menutup telepon dan meminta beliau beristirahat sementara aku siap-siap untuk pergi ke sekolah Liora. Berhubung tinggal satu jam lagi dan ke sana perlu waktu setengah jam, aku harus mandi dan berangkat sekarang juga.

Lima menit sebelum bel sekolah berbunyi, aku sudah parkir tepat di depannya. Namboru katanya sudah mengabari ke wali kelas dan aku tinggal menunggu di depan pintu masuk hingga nama Liora dipanggil. Sistem penjemputannya cukup ketat dan hanya orang tua atau wali saja yang bisa menjemput dengan kartu ID.

Kartu itu sudah terkalung di leherku dan Aku mendengar lengkingan yang sahut menyahut lalu berpadu menjadi kekacauan di telingaku yang sudah disumpal dengan earphone. Tatapanku dari pintu terputus karena tiba-tiba menoleh ke sisi kanan tanpa bisa aku tahan hingga mataku bertemu dengan beberapa pasang mata yang melihatku dengan penasaran. Ada beberapa orang yang terang-terangan melirikku sambil berbisik-bisik dengan mata yang sesekali terarah ke lengan bertatoku.

Aku mengerang pelan karena melupakan hal ini. Banyak orang yang masih tidak terbiasa dengan tato di cowok. Apalagi di cewek. Cibiran bukan kali pertama aku rasakan, tapi ini satu tingkat di atas yang biasanya. Mungkin karena sekolah adan aku lupa menggunakan lengan panjang untuk menutupinya. Tapi, aku dapat melihat beberapa orang tua laki-laki juga memiliki tato, seharusnya ini bukan pemandangan baru lagi di sini.

Padahal, tato sama seperti seni lainnya, menurutku. Hanya berbeda medianya saja. Kanvas yang kupilih adalah kulitku sendiri. Namun, aku tidak bisa memaksakan pendapatku pada orang lain, sama seperti mereka tidak bisa memaksakan pandangan mereka mengenai tato di tubuh perempuan padaku.

"Liora." Nama itu memutus pandanganku dari ibu-ibu lain dan fokus pada pintu kaca yang memisahkan anak-anak dengan orang tuanya. Ibu guru berdiri sebagai pembatas di tengah-tengah salah satu pintu yang terbuka dengan bocah yang dikucir dua.

Aku mengangkat tanda pengenal dengan senyum kikuk sewaktu Liora meneriakkan namaku. "Tante Jaja!" Cengiran kelewat lebar memangkas hampir separuh wajahnya hingga gigi bagian bawah yang ompong terlihat.

"Mom, bisa tunggu sebentar? Ada yang mau saya bicarakan," ucap si Ibu Guru dan aku buru-buru menangkis panggilannya.

"Saya cuma disuruh jemput sama Ompunya," bisikku yang tenggelam di antara keriuhan anak-anak yang berteriak riang seakan tidak cukup melakukannya saat jam sekolah tadi. Ibu Guru Liora lanjut berbicara.

"Lio hari ini pukul temannya. Dia juga beberapa kali mau pukul anak-anak kelas yang lebih besar, sampai mereka ngadu ke saya. Tiga minggu di sekolah, dia sudah dipanggil guru BK tujuh kali. Sekali lagi Lio buat masalah, orang tuanya yang akan menghadap guru BK."

Aku mengangguk dengan kepala kosong. Aku tidak tahu kalau dalam tubuh travel size ini menyimpan begitu banyak masalah yang harus orang lain hadapi. Dan juga keberanian untuk memukul orang lain yang berbadan lebih besar. Aku tidak tahu harus kagum atau takut dengan keberaniannya. Aku tidak mau ambil pusing karena ini bukan masalahku. Aku hanya menjemputnya sekali ini dan tidak akan bertemu lagi dengan para orang tua dengan tatapan sinis dan guru yang akan mendongeng bagaimana kelakuan bocah ini di sekolah.

"Baik, Bu. Akan saya sampaikan ke Papa dan ompunya." Ini adalah kebohongan karena aku hanya akan menyampaikan pada Namboru saat mengantarkan bocah ini pulang setelah makan malam nanti.

Kakiku membawaku kabur dari kerumunan orang itu dan memasuki mobil, diikuti oleh Liora yang langsung masuk ke kursi penumpang di sisiku. Bau matahari langsung menusuk indra penciumanku dengan sangat tajam. Aku sudah melupakan aroma ini setelah tidak lagi sekolah untuk waktu yang cukup lama. Aku jarang bertemu dengan anak-anak temanku dan Rei kehidupan percintaannya sama mengenaskannya denganku.

"Aku nggak dikasih ceramah soal nggak pukul teman?" tanyanya langsung, bahkan sebelum bokongnya menempel di jok.

Aku menstater mobil dan memperbaiki letak kursiku sebelum keluar dari parkiran sekolah. "Enggak. Itu urusan papamu. Ompu cuma minta bantuan buat jemput dan urusin kamu sampai makan malam," jawabku. Perhatianku sepenuhnya jatuh pada kondisi jalanan yang lumayan padat karena jam istirahat. Orang-orang sudah berada di jalanan lagi untuk pergi makan siang. Urgh, jalanan ibu kota memang selalu padat merayap, karena itu aku tidak suka menyetir.

23/11/22

23/11/22

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Six Ways To Sunday [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang