Bagian 3

1.5K 172 10
                                    

"Kamu dan rencana pernikahan kita."

Setelah jawaban penuh ketegasan itu keluar dari bibir Haqla, aku bergegas berangkat ke sekolah. Meninggalkan potongan kecil dadar yang belum sempat aku habiskan —sangat disayangkan memang— dan juga Haqla yang wajahnya seketika menggelap.

Haqla sempat menahan kepergianku dan meminta agar aku mendengarkan penjelasannya terlebih dulu. Namun Haqla tentu tidak bisa mendapatkan keinginannya itu mengingat aku adalah orang yang cukup keras kepala.

Aku melarikan diri bukan karena aku tak memiliki jawaban atas apa yang diinginkan Haqla. Aku juga tak perlu waktu untuk mempertimbangkan itu. Sudah pasti aku akan menolak Haqla.

Hanya saja otakku tadi seperti sempat berhenti bekerja walaupun untuk sesaat saja. Beruntung aku bisa sampai ke sekolah dengan selamat tanpa mengalami kecelakaan saat berkendara dengan pikiran kesana kemari.

Aku tidak tahu mimpi apa aku semalam sehingga di pagi hari aku mendapati Haqla mengutarakan tentang pernikahan. Ucapannya itu jauh lebih mengejutkan dibandingkan saat aku melihatnya telanjang.

Sebenarnya ada apa dengan hari ini? Apa aku ketiban durian runtuh? Atau kah aku mengalami kesialan yang beruntun?

Demi apapun juga, Haqla tak terlihat seperti sedang melamarku. Haqla pun tak tampak seperti tengah mengajak ataupun menanyakan pendapatku. Haqla seakan sedang memberi perintah dimana aku harus mematuhinya.

Lelaki itu..... Akh!! Bagaimana cara yang tepat untuk menolaknya nanti?

Sudah pasti Haqla akan mengajakku bicara lagi setelah aku sampai di rumah nanti. Apalagi saat aku akan pergi tadi, Haqla tampak marah kerena pembicaraan kami terpaksa berhenti. Dan mengingat Haqla akan menginap di rumahku selama beberapa hari kedepan, pasti akan sulit bagiku untuk menghindarinya.

"Ini kenapa gagal terus ya?" Aku bergumam sambil menahan diri agar kekesalan tak terlihat begitu jelas di wajahku.

Aku harus ingat kalau aku sedang bekerja sekarang. Dan memperlihatkan emosi didepan murid hanya akan membuat citra baik yang aku miliki bisa tercoreng. Apalagi penyebaran gosip dikalangan murid sekolah ini begitu cepat seperti proses gunjingan para tetangga meskipun tak sekencang kecepatan jaringan wifi sekolah.

"Tunggu sebentar ya."

Aku mengusap barcode pada bagian belakang buku yang berjudul 'mengenal mikroorganisme dan manfaatnya' itu. Mungkin ada sesuatu yang menghalangi sehingga proses scan terus mengalami kegagalan.

Apa mungkin barcode scanner nya yang bermasalah? Aku mencoba mengira-ngira sebelum satu panggilan membuat perhatian teralihkan.

"Kak Ina!"

Aku pada awalnya menunduk kini mengangkat kepala. Seorang murid perempuan yang berdiri disudut meja di depanku mengacungkan satu tangannya, sebagai petunjuk bahwa dia lah yang baru saja memanggil namaku.

"Iya, kenapa?" tanyaku dengan tatapan lurus pada murid yang tampak tersenyum sungkan itu.

"Hmm.... Maksimal peminjaman tiap murid itu tiga buku kan ya? Itu sudah buku yang keempat, Kak. Mungkin aja...."

Aku kembali menunduk sedetik setelah murid perempuan itu sengaja menggantung ucapannya. Tanganku bergerak menggeser buku yang tersusun didekat keyboard dan mulai menghitungnya.

Ada tiga buku diatas meja dan satu lagi berada di tanganku. Totalnya ada empat buku yang akan dipinjam oleh murid perempuan yang memiliki raut wajah polos disamping murid yang tadi bicara padaku.

Murid yang aku tebak masih kelas tujuh itu sepertinya lupa dengan peraturan perpustakaan. Pantas saja apa yang aku lakukan terus mengalami kegagalan sebab sistemnya memang diatur seperti itu.

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang