Bagian 32

580 96 20
                                    

Tepat di dekat pintu tangga darurat yang sepi, mereka berdiri saling berhadapan. Dengan posisi ini, Dea merasa jarak antaranya dan Haqla terbentang jauh. Padahal beberapa menit lalu rasanya tak seperti ini.

"Kita nggak cari tempat biar bisa ngobrol sambil duduk, Mas?" tanya Dea sebelum Haqla memulai pembicaraan mereka terlebih dulu. "Banyak yang perlu kita bicarakan."

Tentang anak mereka dan kondisinya sekarang tentu harus diutamakan. Tapi bagi Dea, hubungannya dengan Haqla pun wajib untuk dibicarakan. Misalnya dimulai dari rencana pernikahan.

"Aku datang hanya untuk memastikan satu hal. Setelah dia sehat, apa kau mau merawatnya?"

Dea mengernyit, sedikit bingung dengan pertanyaan yang sudah pasti apa jawabannya itu sebelum mengangguk mantap. "Iya. Aku kan ibunya, Mas. Dia anak kita."

"Kalau begitu besarkan dia dengan baik. Tetap katakan padanya kalau Ahmad adalah ayah kandungnya. Tidak perlu mengungkit tentangku padanya. Lalu jangan menghubungiku lagi setelah ini."

"Tunggu!" pinta Dea keheranan. "Apa maksudnya, Mas?" Apa Haqla berniat untuk melarikan diri dari tanggung jawab secara terang-terangan? Begitu?

"Jangan mencoba untuk masuk ke dalam hidupku dengan menggunakan anak itu kedepannya. Pergilah dari rumah ibuku dan carilah tempat lain. Aku akan mengirim sedikit uang setiap bulan sebagai bantuanku."

Seingat Dea, Haqla tidak pernah berbicara sepanjang ini padanya. Tidak pernah pula menatap matanya saat mengatakan secuil kata, seolah-olah Dea memang tak menarik minatnya untuk dipandangi. Dan sekarang baru kali pertama Haqla melakukannya. Tapi sayangnya, ucapan lelaki itu terasa begitu menusuk hati.

Tidak! Bukan seperti itu yang Dea inginkan dari Haqla. Lelaki itu tidak boleh menjauh darinya dan juga anak mereka.

"Harusnya kita besarin dan ngerawat anak kita sama-sama kan, Mas? Bukannya begitu?"

"Tidak. Kenapa aku harus melakukan itu?"

Dea terperangah. Hati Haqla sepertinya masih belum melunak padanya. Harus berapa lama dia menunggu Haqla agar mau menerima mereka?

"Biar anak kita nggak kekurangan kasih sayang. Dia harus punya orang tua lengkap dan hidup bahagia. Kita—"

"Kau dan dia bukan tanggung jawabku," sela Haqla membuat Dea terdiam. "Begitu kesepakatan kita sebelumnya. Ahmad sudah berjanji, dan kau pun menyetujuinya. Karena Ahmad mati, aku sedikit melunak dan memberimu pilihan. Kau yang akan membesarkannya sendiri atau dia akan ku bawa pergi? Tidak ada kita, hanya kau atau aku."

"Aku cinta kamu. Kita bisa menikah. Jadi aku dan anak kita bisa jadi tanggung jawabmu. Aku akan jadi istri yang baik, Mas." Dea hendak memegang lengan Haqla, tapi lelaki itu segera melangkah mundur.

"Aku tidak menginginkanmu. Tidak pernah. Tidak saat dulu kau sering menguntitku ketika aku masih sekolah. Tidak saat kau terus mencoba mendekatiku padahal aku adalah teman suamimu. Bahkan disaat kau sudah melahirkan anak yang memang merupakan keturunanku pun, aku tidak menginginkanmu."

Dea tersentak kaget. Bola matanya membesar. Jadi Haqla mengingat dirinya? Selama ini lelaki itu cuma berpura-pura tidak mengenalnya? Kenapa?

"Jangankan pernikahan, aku bahkan tidak ingin melihatmu ada di sekitarku. Perlu kau ketahui, aku membencimu sebesar aku membenci Ahmad. Sungguh!"

"Kamu sendiri yang mengiyakan permintaan Mas Ahmad, Mas. Jangan limpahkan kesalahanmu padaku."

"Kalau bukan karena kau menyeret namaku kedalam masalah rumah tanggamu, semua ini tidak akan terjadi. Aku juga tidak akan melakukan dosa sebesar ini. Dan jangan berpura-pura lupa dengan apa yang sudah terjadi sebelumnya. Kau ikut andil. Kau dan suamimu tak akan pernah aku maafkan."

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang