Bagian 30

606 98 12
                                    

Sekelilingku terasa panas, amat sangat menyiksa sampai membuatku gelisah dan tidak nyaman. Aku sedikit sadar saat mendesah, meringis, begitu pun mengeluh. Tapi tetap begitu enggan untuk membuka mata.

Sebenarnya sudah sejak pagi aku merasa tidak terlalu sehat. Tapi aku tetap membawa tubuh ini bergerak, baik untuk mencuci, bersih-bersih rumah hingga memasak. Sampai akhirnya aku merasa tidak cukup kuat berdiri lagi meski sempat meminum obat tanpa makan terlebih dulu.

Sentuhan pelan yang terasa di kulitku akhirnya berhasil memaksaku membuka mata. Haqla sedang duduk di dekatku lah menjadi pemandangan pertama yang terlihat. Kami sedang ada di kamar, tepatnya diatas tempat tidur. Dengan hati-hati Haqla mengelap leherku menggunakan handuk lembab.

Dalam diam aku terus memperhatikannya. Dia terlalu fokus dan berkonsentrasi mengelap badanku hingga tak sadar aku tengah memandanginya.

Setelah leher, Haqla beralih ke dada. Hanya bagian atasnya saja karena braku tidak dia lepas. Setelah perut, kedua tanganku pun tak luput darinya. Merasa geli saat Haqla mengelap ketiakku, tubuhku pun refleks bergerak dan menghindari tangannya.

"Kamu sudah bangun?" tanya Haqla setelah tatapannya jatuh ke wajahku.

Aku berdehem sebelum mengangguk pelan. "Kamu sedang apa?"

"Kamu mengigau, Na. Mengeluh nggak nyaman karena berkeringat. Jadi aku bersihkan badan kamu dengan handuk basah. Ini pakai air hangat kok," jawab Haqla sebelum melanjutkan apa yang sedang dia kerjakan tadi.

"Geli, Haqla," keluhku saat dia berpindah pada ketiak kiri.

"Biasanya aku cium disana kamu nggak pernah protes," ucapnya teramat santai, membuatku melotot.

"Kamu belum pernah cium ketiakku." Tentu saja aku membantah ucapannya. Ya, meskipun dia hanya bermaksud bercanda.

"Mana mungkin? Seingatku seluruh tubuh kamu nggak ada yang belum tersentuh bibir aku."

Aku mengusap wajahnya. "Istighfar, ya ampun. Bisa-bisanya pasang ekspresi mesum begitu disaat istrimu sedang sakit."

Haqla memang semesum itu. Tapi sayangnya kami belum juga sampai pada tahap dimana benihnya masuk ke rahimku, atau setidaknya terbuang didalam kondom. Dia akan menunjukkan tanda-tanda tak nyaman saat kami sedikit lagi akan menyatu, sehingga akhirnya berhenti begitu saja. Saat aku tanya lagi alasannya, dia bilang masih belum siap.

Haqla pun terkekeh. Tanganku dia jauhkan untuk ditekannya ke kasur, dekat kepalaku. Tanpa bisa ku cegah, dia menurunkan wajahnya dan mendaratkan beberapa kecupan di ketiakku.

"Haqla," pekikku disusul tawa. Sumpah, rasanya geli sekali.

Dia mengakhiri tingkahnya dengan memberi gigitan yang membuatku meringis. "Sudah kan?" tanyanya tersenyum miring.

Tubuhku menjadi dua kali lipat semakin panas karenanya. "Dasar gila!"

Alih-alih marah atas apa yang ku katakan, Haqla hanya tertawa. Dia membantuku untuk duduk. Aku langsung menghentikannya saat dia hendak memakaikan baju yang tadi sudah diambilnya dari lemari. "Tolong ambilkan bra. Ini lembab rasanya. Aku kurang nyaman, mau ganti yang kering."

Dia bergegas mengambilnya dan kembali ke dekatku tepat ketika aku sudah bertelanjang dada. Dia menatapku lekat sebelum berdehem. "Sebelum dipakai, aku lap dulu biar kamu nyaman. Tunggu aku biar tambah air hangatnya."

Aku menggeleng cepat. "Nggak perlu. Aku langsung pakai saja."

Karena melihat tanganku bergerak agak lambat dan lemah, Haqla pun dengan sigap membantu. Setelah bra terpasang, dia juga memakaikan bajuku.

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang