Wulan keluar kamar sesaat setelah suara Haqla terdengar memanggil namaku. Wajahnya agak mengkilap, bekas wudhu masih belum sepenuhnya menghilang. Dia tersenyum sungkan saat melihatku dan anaknya bergantian. "Loh, tenang-tenang aja? Nggak rewel ya, Na?"
Aku menggeleng sambil memandangi punggung kecil yang sedang membelakangi ku itu. "Sejak tadi asyik main sendiri. Dicolek bahkan nggak cukup mempan, Mbak. Cuma menoleh sebentar saja dianya."
Si bungsu yang dibilang rewel oleh sang ibu itu begitu tenangnya duduk diatas karpet, dengan dua mainan yang sama berada di tangannya. Dia tak bergeser sedikit pun sejak Wulan menurunkannya disana. Mungkin karena ada aku yang mengawasi sehingga dia tidak merasa ditinggal sendirian.
"Makasih ya, Na. Saya sudah selesai sholat."
"Sama-sama, Mbak. Saya nggak bisa duduk lama-lama nih, Mbak. Haqla barusan manggil soalnya."
"Nggak papa, Na." Wulan meraih si bungsu dan langsung menggendongnya. Dia mengiring ku keluar rumah. "Mungkin tamu kamu juga sudah mau pulang itu."
Dan benar seperti yang dikatakan Wulan, Nisa dan Deni bersiap untuk pulang. Pembicaraannya bersama Haqla sepertinya berjalan baik. Perempuan hamil itu tampaknya mendapatkan apa yang dia inginkan. Raut wajahnya berubah cerah, tak seperti sebelum ku tinggal ke rumah sebelah tadi.
Senyum Nisa menyambutku saat perlahan aku mendekati mereka. "Aku akan pesankan tiket pesawat sama hotel kalian untuk minggu depan. Anggap saja kalian sedang pergi bulan madu lagi. Itu sebagai ucapan terima kasih dari kami ya, Ina."
Aku menoleh pada Haqla saat suamiku itu menolak Nisa. "Tidak perlu. Kami akan pergi dengan mobil."
Tampaknya sudah dipastikan kalau Haqla akan membantu Nisa untuk bicara dengan ayahnya. Dan aku merasa agak antusias karena sepertinya aku juga akan ikut kesana.
"Bisa sampai enam jam loh kalau dari sini," ucap Deni urung masuk ke dalam mobil. "Lebih enak naik pesawat saja. Kamu tidak capek nyetir."
"Tidak apa-apa, Mas. Kami naik mobil saja. Lebih gampang juga untuk bawa istriku jalan-jalan disana."
Mendengarnya aku jadi tidak sabar untuk segera pergi.
"Kalau begitu hotelnya biar aku yang pesan. Kamar spesial untuk pengantin baru. Jangan tolak lagi," pinta Nisa saat Haqla membuka mulut hendak bicara. "Aku sangat berterima kasih karena kamu sudah mau membantuku, Haqla. Jadi tolong terima ini saja."
"Baiklah."
"Aku senang bisa bertemu kamu, Ina. Minggu depan mari kita ngobrol lagi ya. Semoga bisa berbincang lebih lama." Nisa mengusap lenganku. "Aku dan Mas Deni pamit dulu."
"Iya, Mbak. Hati-hati dijalan," ucapku sebelum keduanya menyalami aku dan Haqla bergantian, kemudian masuk ke mobil. Setelah membunyikan klakson sekali, mobil pun melaju meninggalkan depan rumah kami.
Belum kendaraan itu menghilang dari pandangan, Haqla sudah menggandengku untuk masuk ke rumah. Aku mengikutinya sambil bertanya, "jadi aku akan ikut kamu pergi?"
"Sudah pasti, Na. Aku nggak mau meninggalkan kamu sendirian disini. Kita bisa jalan-jalan nanti. Mumpung hari jumatnya libur."
Oh, aku belum melihat-lihat tanggal merah di hari kerja untuk bulan depan.
"Berarti untuk pertama kalinya aku akan bertemu ayahmu ya? Apa ada hal yang perlu ku perhatikan saat bicara dengannya?"
Haqla segera berbalik setelah menutup pintu. Dia menatapku lekat. "Kamu tetap di hotel saat aku ke lapas, Na."
Senyum tipis di bibirku pun surut. Itu artinya dia tidak akan membawaku bertemu dengan ayahnya. "Kenapa aku tetap di hotel?"
Haqla melingkarkan tangannya di pinggangku. Kepalanya tertunduk, dengan kening menekan bahu kananku. "Maaf, Na. Aku nggak mau kalian bertemu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Billing My Promise
ChickLitTiga puluh tahun hidupnya terasa baik-baik saja meskipun Inayah Rubia sempat jatuh bangun dalam hubungan sosial dan percintaan. Tapi dengan hadirnya Haqla Fakhri Jahid, teman bermain adiknya sekaligus tetangganya yang dulu menghilang, kehidupan Inay...