Bagian 21

1K 131 25
                                    

Aku dan Haqla akan menikah.

Belum ditentukan kapan tepatnya acara pernikahan akan diadakan. Tante Vera bilang pertemuan keluarga besar kami sekaligus lamaran resmi harus diadakan lebih dulu. Pada saat itu lah disepakati kapan acara akan dilangsungkan.

Tadi Haqla sempat menyinggung tentang tanggal pernikahan yang dia inginkan. Haqla berharap kami bisa menikah terhitung paling lambat dua minggu dari hari ini. Sebelum waktu liburnya selesai karena dia harus berangkat dan mulai kerja kembali.

Namun Bunda dan Tante Vera langsung menolak usulan itu. Keduanya ingin mengadakan pesta pernikahan untuk kami. Dua minggu dirasa kurang cukup untuk persiapan. Jadi Haqla diminta untuk kerja dulu dan datang sebelum hari pernikahan. Semua persiapannya akan diurus oleh keluarga besarku.

Awalnya Haqla tampak keberatan. Dia bilang persiapan tak akan butuh lama kalau dia menyewa jasa orang untuk mengerjakannya. Ayah yang menyetujui Haqla pun bilang lebih cepat lebih baik untuk kami menikah karena beliau mempertimbangkan Haqla dan juga pekerjaannya.

Tapi tampaknya kedua lelaki rupawan itu sempat lupa kalau yang diajak berdebat adalah dua wanita yang sama-sama keras kepala. Sehingga keduanya pun kalah dalam perdebatan.

Aku sempat memikirkan Haqla yang mungkin akan datang sendiri saat lamaran nanti. Keluarga ayahnya tak ada yang perduli dengannya sementara sang ibu sedang tak baik-baik saja. Bukankah lelaki itu akan tampak menyedihkan nantinya?

Aku belum sempat membicarakan tentang itu dengan Haqla. Tapi dalam hati aku sangat berharap kalau Haqla memiliki teman selain Indra agar ada yang bisa menemaninya hari sabtu nanti.

"Akh, bikin kesal aja. Aku jadi orang yang terakhir tau."

Mataku mengerjap cepat, tersadar dari lamunan singkat berkat suara Indiana yang terdengar keras juga agak ketus. Tatapanku kembali fokus ke layar ponsel yang memperlihatkan wajah adik perempuanku.

Kekecewaan di wajah Indiana terlihat begitu jelas. Tadinya aku berpikir, sebelum dia mendapat kabar dari Bunda atau mungkin Ayah, alangkah baiknya aku yang lebih dulu memberitahunya. Tapi tak disangka, tanggapan Indiana tak sesuai dengan yang ku pikirkan.

Gadis itu merajuk karena menjadi orang terakhir yang mendapat kabar. Padahal itu hal yang lumrah terjadi berhubung kami terpisah jarak. Bersyukur aku segera memberitahu malam ini tanpa menunggu hari esok lebih dulu tiba.

"Kamu kok keliatannya nggak senang begitu?" tanyaku yang membuat Indiana mendengus. Aku tersenyum geli dibuatnya.

"Nggak mungkin nggak senang dong. Aku senang banget malah dengernya. Cuma kenapa Kak Ina baru kasih tau sekarang? Padahal kita sering chatan. Sedikitpun Kakak nggak pernah nyinggung tentang ini sebelumnya."

Mendengar keluhan Indiana aku jadi tahu kalau Bunda sepertinya tak pernah memberitahu Indiana soal janjiku dulu pada Haqla. Mungkin Bunda juga tak mengatakan tentang kedekatan kami pada putri bungsunya itu.

"Kami baru dapat restu dari Ayah sama Bunda sore tadi loh, Ndi. Bukannya dari kemaren-kemaren. Karena itu aku baru bilang sekarang," ucapku membela diri.

"Tetap kasih tau aku dong Kakak lagi dekat sama siapa. Sampai beberapa menit yang lalu aku masih mikir Kakak belum move on dari yang onoh."

Susah sekali ya menyebut nama Jordy dengan benar?

Indiana persis seperti Lingga yang berpikiran buruk pada Jordy pasca berakhirnya hubungan kami. Bagaimana kerasnya aku menjelaskan, Jordy tetap berakhir salah di mata keduanya.

"Mau gimana lagi? Semua ngalir begitu aja. Nggak ada pacar-pacaran juga. Aku pun nggak menduga bisa sampai ke tahap ini. Sama Haqla lagi."

Indiana terkekeh. "Aku juga nggak nyangka Kakak akan nikah sama temannya Abang. Andai aja dari dulu kita tau ya kalau dia jodohnya Kak Ina. Ayah sama Bunda pasti udah tahan dia biar nggak ngilang. Terus Kakak juga nggak ada drama-drama sama para mantan pacar."

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang