Bagian 8

811 149 10
                                    

Sebelum makan siang, kami selesai membersihkan rumah dan halamannya. Tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya, aku lebih banyak memberikan instruksi dibanding bekerja. Karena Indra dan Haqla begitu rajin dan bekerja tanpa mengeluh. Tidak pernah protes terhadap apa yang ku suruh. Serta ada Ardi dan sedikit tenaga Lingga juga sebagai pekerja tambahan.

Jam sepuluh pagi aku mendapat telepon. Bunda bilang jam setengah sebelas Bunda akan pulang untuk membuatkan kami makanan. Jadi setelah Bunda menelepon lagi, aku pulang untuk menjemput makanan.

Setelah selesai makan siang, kami duduk-duduk santai di ruang keluarga. Televisi dalam kondisi menyala. Namun hanya aku dan Haqla saja yang terpaksa menonton siaran membosankan daripada tak ada kegiatan lain.

Indra terlihat sibuk dengan ponselnya. Mungkin berbalas pesan dengan Siti yang sempat mampir sebentar pagi tadi. Gadis itu tidak bisa duduk lama karena katanya harus pergi bersama kedua orang tuanya untuk menemui kerabat.

Ardi masih menyuapi potongan buah pada istrinya yang belum ingin berhenti mengunyah. Nafsu makan Lingga memang sangat baik. Gejala morning sickness pun tak dimilikinya sehingga kehamilan Lingga tampak begitu lancar.

Sedangkan ayahku tak kembali lagi kesini. Sekarang beliau entah di toko atau masih di rumah, aku tidak tahu. Tadi saat aku menjemput makanan, Ayah ikut bersamaku. Ayah memilih untuk makan siang di rumah bersama Bunda.

"Kak Ina besok mau ikut kita nonton nggak?"

Setelah beberapa saat terdiam dan sibuk dengan dunianya sendiri, suara Indra akhirnya kembali terdengar. Aku memperkecil volume televisi. Karena Haqla tidak protes, berarti dia tidak keberatan dengan apa yang kulakukan.

"Kamu sama Siti?"

Aku balik bertanya. Tawaran itu menarik karena aku sudah lama tidak nonton di bioskop. Tapi harus dipertimbangkan dulu sebelum diterima. Karena kata kita yang diucapkannya, aku tidak tahu merujuk pada siapa saja.

"Siapa lagi? Aku kan cuma punya cewek satu."

Belum aku menjawab pertanyaan awal Indra, suara Ardi mendahului. "Kalau punya dua cewek, kamu akan bawa dua-duanya sekaligus?" tanyanya bernada canda.

Indra terkekeh. "Nggak, Bang. Itu namanya bunuh diri. Pagi dulu sama si A, siangnya baru sama si B."

Aku mencibir. Teori ahli tapi praktik nol. Budak cinta Siti Fatimah mana punya kemampuan begitu? Sikap Indra memang sering kelewatan dan membuat naik darah. Tapi dalam urusan asmara, adikku itu setia orangnya. Buktinya dia pernah diselingkuhi, bukan menyelingkuhi.

"Waktu nonton sama si B, Indra ketiduran di bioskop. Karena filmnya sama dengan yang ditonton pagi."

Aku tersenyum mendengar ucapan Lingga. "Kayak Ardi dulu ya, Ngga?"

Kedua alisku naik turun sehingga Ardi bertampang masam. "Heh, sembarang! Aku nggak pernah begitu," protesnya.

Kali ini aku tertawa. "Tapi benar kan, Ngga? Kamu diajak Ardi nonton sore terus kamu kesal karena dia tidur selama filmnya tayang. Aku masih ingat kamu pernah cerita. Nggak cuma sekali loh itu."

"Tapi pagi harinya aku sudah pastikan keberadaan Ardi kok, Na. Nggak nonton sama yang lain dia."

"Jadi ikut nggak nih, Kak?" tanya Indra mendesak. "Aku mau pesan tiketnya sekarang. Mumpung masih bisa puas pilih kursi yang nyaman."

"Nggak deh, makasih. Aku lagi nggak ada minat untuk jadi obat nyamuk."

Kalau keinginanku untuk menonton di bioskop tak terbendung lagi, lebih baik aku pergi sendiri. Itu lebih nyaman dibandingkan menjadi orang ketiga diantara sepasang manusia yang sedang dimabuk cinta.

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang