Bagian 23

796 100 15
                                    

Ditemani om dan tantenya, akhirnya Haqla melamar ku secara resmi. Mereka datang bertiga, disambut baik oleh keluarga besarku dimana hampir semua anggotanya datang. Setelah Ayah memberi kabar, mereka serentak berkata akan ke rumah pada hari lamaran. Jangan tanyakan bagaimana antusiasnya mereka, karena hampir menyamai Tante Vera.

Mulai dari awal hingga selesai, syukurnya acara berlangsung lancar. Saat datang, tante Haqla sempat membuat keluargaku berbisik-bisik karena penampilannya yang luar biasa memanjakan mata. Walaupun hanya tau emas dan mungkin tak pernah melihat bentuk berlian atau permata asli dan sejenisnya, keluargaku tetap tahu kalau perhiasan yang dikenakan tante Haqla pasti sangat mahal harganya.

Jika sikap Tante Vera bisa tertutupi oleh parasnya yang terlihat lemah lembut, berbeda dengan tantenya Haqla. Beberapa kali omnya Haqla tersenyum sungkan saat menyadari istrinya yang tak ramah dan tampak begitu terpaksa datang. Entah apa yang dilakukan Haqla sebelumnya hingga berhasil membuat tantenya mau menempuh perjalanan sejauh ini. Padahal hubungan mereka sangat lah buruk.

Jika bukan karena keluargaku sudah tau bagaimana kondisi keluarga Haqla yang sebenarnya, mungkin aku akan ditanyai banyak hal setelah acara selesai. Untungnya semua mau memaklumi. Itu bukan kesalahan Haqla hingga dia lah yang harus menanggung akibat dari perbuatan ayah dan ibunya di masa lalu.

"Dua bulan itu lama, Na."

Selama seminggu ini, setiap hari Haqla terus melayangkan protes padaku tentang tanggal pernikahan kami yang disepakati akan dilangsungkan dua bulan setelah hari lamaran. Padahal saat acara sebelumnya dia mengiyakan permintaan Bunda begitu saja tanpa memberi penawaran.

"Kurang dari dua bulan lagi kok. Kan sudah jalan seminggu."

Haqla akan berangkat besok pagi, dia harus kembali bekerja setelah rehat cukup panjang. Karena itu, sepulang bekerja aku ada di rumah ini. Haqla membawaku kesini untuk membantunya beres-beres. Tapi ketika sampai, aku mendapati pakaiannya sudah berpindah dari lemari ke dalam koper. Hanya harus berbenah sedikit yang bisa dilakukan esok hari.

Haqla agak menyebalkan bukan? Kalau dia hanya ingin mengobrol denganku, seharusnya dia bilang begitu saja tanpa perlu mencari-cari alasan. Aku kan juga tidak menolak.

"Tetap saja lama, Na. Kalau kita bilang sekarang, masih sempat kok untuk mengganti tanggalnya."

"Kamu mau pernikahan kita dipercepat?" Haqla mengangguk cepat. "Kamu bisa bilang begitu ke Bunda. Nggak papa, silakan."

Haqla mendesah keras. Keningnya mengernyit protes. "Kamu bantu aku untuk bilang ke bundamu ya, Na."

Aku tidak akan melarang Haqla jika mengubah tanggal pernikahan adalah keinginannya. Tapi aku tidak mau menjadi pihak yang membicarakan hal itu pada keluargaku.

"Aku nggak mau diomeli, Haqla. Bahkan tentang ini pun Bunda lebih dengar saran Tante Vera dibandingkan Ayah. Kalau nggak mau bicara langsung ke Bunda, kamu coba bujuk Tante Vera sana."

Saat keluargaku membicarakan kembali tentang tanggal pernikahan sebelum Haqla dan tantenya datang, Ayah menyarankan agar acaranya diadakan pertengahan bulan depan. Tapi Tante Vera berpendapat akan butuh waktu untuk mempersiapkan resepsi. Butuh waktu untuk membuat baju seragam anggota keluarga. Butuh waktu juga untuk ini dan itu yang membuat Bunda semakin sependapat dengannya.

"Lagian nanti waktu dua bulan itu nggak akan kerasa lama karena kamu kan kerja. Sudahlah, kita ikuti aja rencana semula."

"Tapi aku maunya kita nikah secepatnya, Na. Dua bulan lagi itu terlalu lama," ulangnya lagi.

Jujur aku lelah membicarakan hal yang sama berulang-ulang kali. "Kamu bilang ke bundaku sana. Kalau Bunda setuju, aku nggak masalah."

"Kalau sekarang aku minta ke ayahmu untuk menikahkan kita secara agama dulu sebelum aku berangkat, kamu mau?"

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang