Bagian 9

814 159 13
                                    

Pertimbangan Bunda dalam mencari calon suami untukku bukan hanya karena sang lelaki merupakan anak kenalan atau kebetulan juga belum menikah. Agama, akhlak, keluarga, ekonomi dan penampilan adalah hal-hal yang Bunda jadikan sebagai kriteria penilaian.

Mendengar itu, Bunda membuatku merasa menjadi orang yang begitu spesial. Seolah-olah aku secantik Sandra Dewi dan sepintar Maudy Ayunda. Padahal aku tak ada bedanya dengan remahan rengginang yang rasanya sayang kalau dibuang.

Padahal mungkin sudah sewajarnya hal seperti itu dilakukan oleh para orang tua, termasuk Bunda. Mereka tak ingin memilih pasangan untuk anak-anak mereka dengan asal-asalan. Terutama jika sang anak berjenis kelamin perempuan. Harus seseorang yang bisa dipercayai untuk dititipkan sang anak karena tak hanya sehari dua hari, kalau bisa sampai akhir hayat.

Bunda berharap aku bisa mendapatkan suami yang berasal dari keluarga utuh dan keturunan yang baik. Bagaimana pernikahan orang tua, kelak akan menjadi contoh nyata bagi sang anak. Dan pernikahan tak hanya menyatukan dua manusia berbeda jenis kelamin melainkan dua keluarga besar juga.

Jangankan bisa bertanya tentang ayah kandungnya, Haqla saja tampak enggan saat kami menyinggung tentang kabar ibunya. Dia juga tampak berusaha keras agar tak ada pembicaraan tentang kemana dia pergi dua belas tahun belakangan dan apa yang terjadi padanya.

Haqla hanya mengaku padaku kalau dia merasa tidak bahagia. Di mataku dia tampak sehat, gagah, dan terawat. Tidak ada yang kurang darinya.

Memang seperti apa kehidupan yang sudah dia jalani sebelumnya sehingga merasa tak bahagia? Tapi jangankan memberi ku jawaban, seperti yang ku bilang dia enggan untuk membicarakan masa lalunya.

Semalam tidurku tak nyenyak. Pembicaraanku bersama Ayah dan Bunda berakhir membuatku kepikiran. Tampaknya aku sedikit tak setuju dengan Bunda. Karena itu sepanjang mata masih terbuka, semalam aku mencoba memikirkan cara lain. Agar aku bisa membebaskan diri dari jerat janji yang tak bisa aku tepati itu.

Misalnya mengenalkan Haqla pada seseorang mungkin? Itu yang bisa kupikirkan sepanjang malam. Dan itu pula yang sedang ku coba untuk lakukan.

Pagi tadi aku sempat ke rumah Pak RT untuk menyaksikan rangkaian acara akad nikah. Disana aku melihat beberapa orang perawan desa, mulai dari usia belasan hingga sudah pertengahan dua puluh tahun. Bukannya menyaksikan acara, aku mengamati mereka satu per satu.

Hingga akhirnya aku membawa pulang salah satu dari mereka yang kupikir sepertinya akan cocok dengan Haqla. Setelah sampai di rumah aku mengirim pesan pada Haqla, memintanya untuk datang. Hanya beberapa menit menunggu, Haqla menampakkan batang hidungnya.

"Dulu saat masih sekolah, Haqla harusnya kakak kelas kamu kan Fi? Setahun diatas kamu. Ingat nggak?"

Gadis yang kubawa ke rumah namanya Sufia. Usianya kira-kira satu tahun lebih muda dari Haqla. Dia gadis yang cantik, baik, ramah dan murah senyum.

Dari segi pendidikan, keluarga yang cukup berada hingga kepribadiannya, Sofia patut diacungi jempol. Namun sayangnya hal itu membuat bujangan di desa kami malah merasa minder sehingga belum ada yang berani melamar Sufia.

Kalau bukan karena Indra yang sudah cinta setengah mati ke Siti, mungkin Bunda akan mendorong adikku untuk memperistri Sufia.

"Kakak kelas gimana? Kak Ina lupa ya? Aku kan sama Indra sekelas waktu SD. Jadi sama Haqla juga dong. Aku ingat banget, mereka selalu duduk sebangku. Waktu dipisah sama wali kelas, Indra malah ngamuk."

Benarkah? Aku tentu tak tahu siapa saja teman sekelas adikku, kecuali Haqla. "Tapi kamu kan lebih muda dari Indra. Seingatku sekarang kamu masih dua empat. Benar kan?"

"Sekarang aku memang masih dua empat, Kak," ucap Sufia setelah mengangguk singkat. "Tapi bentar lagi aku mau dua lima. Nggak sampai dua minggu lagi. Aku sama Indra kayaknya nggak sampai beda satu tahun deh umurnya, cuma beberapa bulan aja."

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang