Bagian 4

1.1K 180 19
                                    

Hanya satu yang aku rasakan sekarang. Lapar. Aku sangat lapar.

Aku membutuhkan makanan. Nasi, mi, roti atau apapun itu untuk masuk ke dalam perutku selain air minum ini. Botol minum yang tadi diisi penuh kini hanya menyisakan air yang tak sampai seperempatnya. Semuanya sudah beralih ke dalam perutku. Tapi itu tetap tak mampu menghilangkan rasa lapar yang menjeratku sekarang.

Siang tadi aku tidak makan di sekolah. Entah tidak nafsu makan atau mungkin karena merasa bosan dengan menu itu-itu saja yang ada di kantin sekolah. Selain jajanan, kalau tidak nasi goreng ya mi rebus atau nasi soto yang disediakan disana.

Bunda sering membuatkan bekal untukku agar bisa makan makanan yang sehat menurut versi Bunda. Karena menurut pandangan bundaku itu, makanan di kantin tak terlalu sehat. Sehingga tak jarang aku membawa bekal yang disediakan Bunda dengan setengah hati karena teman makan siangku tak pernah membawa bekal.

Tapi tak disangka-sangka akhirnya aku berada pada titik dimana menginginkan bekal buatan Bunda. Besok orang tuaku baru akan kembali. Itu artinya aku harus menunggu hingga besok lusa dulu baru bisa memintanya pada Bunda. Aku harus bersabar dengan makanan kantin untuk besok daripada menahan lapar seperti ini lagi.

Aku tak mengindahkan ucapan Haqla sebelumnya dan tetap menghindar. Jika dihitung, maka ini adalah malam kedua aku tidak ikut makan malam karena langsung mendekam di kamar setelah pulang kerja.

Pesona Haqla sebagai lelaki dewasa membuat pikiranku menjadi kotor. Itu kejujuran dari lubuk hatiku yang paling dalam. Aku bahkan memimpikan tubuhnya malam kemarin sehingga melihat Haqla saja membuat badanku berkeringat dingin.

Orang lain akan demam atau panas dingin setelah melihat makhluk halus. Sementara aku karena membayangkan kembali tubuh telanjang Haqla yang menggoda iman. Gila kan aku?

"Kak Ina!!!"

Bukan hanya sekedar memanggil, Indra juga menggedor pintu kamarku. Demi apapun, aku bahkan tidak setuli yang dia pikir sampai dia harus berteriak seperti itu.

"Ayo makan malam sekarang."

Tadi Haqla sudah mengajakku untuk makan malam bersama. Aku menolaknya dengan berteriak dari dalam kamar dan beralasan kalau aku tidak lapar. Tapi aku tidak bisa melakukan hal yang sama pada Indra. Dia tidak akan berhenti dan menjauhkan tangannya dari pintu itu kalau aku tak keluar kamar untuk menemuinya.

Sama seperti aku yang terus menekannya agar bersikap sopan padaku, Indra juga sering memintaku melakukan hal yang sama. Dia bahkan mengejekku dengan sebutan 'si gila hormat' ketika aku marah karena dia memanggilku hanya dengan nama saja.

Dengan gerakan malas, aku beranjak dari tempat tidur. Membuka pintu yang sebenarnya tidak terkunci. "Kalian saja yang makan. Aku nggak lapar."

"Siang tadi memangnya makan apa sampai Kakak yang rakus ini mau melewatkan makan malam?"

Aku menatapnya datar. Mengabaikan kata rakus karena sungguh, aku tak mau berdebat dengannya. "Makan hati. Karena itu aku masih kenyang sampai sekarang."

"Kakak yakin nggak mau? Aku nggak masalah sebenarnya. Tapi jangan harap makanannya masih sisa sampai besok pagi. Untuk Kakak makan tengah malam pun nggak akan aku tinggalkan."

"Sudah, pergi sana." Aku mendorong lengan Indra. "Kalian saja yang makan. Aku lagi diet."

"Diet?" Bibir Indra bergerak miring saat mengucapkan satu kata itu. Rasanya aku ingin menampar bibir yang berwarna agak gelap akibat rokok itu karena kesal melihatnya.

"Yang perlu diubah dari Kakak itu bukan bentuk ataupun ukuran badan melainkan pola pikir. Pasti banyak lelaki yang langsung berbaris setelah Kakak bisa bersikap dewasa sesuai usia Kakak sekarang."

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang